Malam itu, aku datang ke sebuah tempat nongkrong yang selalu
ramai karena murah dan free wi-fi,
lokasinya di pinggir jalan dan tidak begitu jauh dari rumahku. Sekitar 15 menit
saja dengan motor. Maksud kedatanganku adalah untuk memenuhi janji temu dengan
Des, teman baruku di SMA, anak kelas sebelah yang setiap waktu istirahat selalu
mampir ke kelasku lantaran beberapa teman SMP-nya berada di kelas yang sama
denganku.
Aku selalu
memperhatikan orang, bukan karena aku suka. Tapi itu kebiasaan spontan yang
terkadang aku bahkan tak sadar sedang melakukannya. Terjadi begitu saja. Dan
hari itu, aku memperhatikan Des dengan sekumpulan teman-teman sekelasku, ada
Adira, Roni, Amila, Chandra, Egi dan Yulis. Mereka mengobrol dengan heboh,
seperti sedang reunian SMP setelah 17 tahun tidak ketemu. Aku mendengar mereka
dengan samar karena aku berada di kursi paling belakang sedangkan mereka
mengobrol di kursi paling depan. Tapi meski begitu, nama Des seolah tak bisa
membuat orang salah dengar. Nama panggil yang begitu singkat, sederhana, dan
mudah diingat.
Entah apa
yang mereka obrolkan, tapi di antara percakapan yang heboh itu, aku mendengar
Yulis berkata sambil menampar bahu Des dengan bercanda tapi cukup bertenaga,
“Elo kan Des yang waktu itu…,” Aku hanya mendengarnya sampai di situ saja,
karena kemudian suara Yulis ditanggapi bertubi-tubi oleh yang lainnya dan obrolan
itu menjadi heboh lagi.
Lagi
pada nostalgia masa SMP, kayaknya…, begitulah isi pikiranku tanpa
pernah menyadari bahwa itulah pertama kali aku tau nama Des.
***
Istirahat
keesokan harinya, Des ke kelasku lagi. Dan terus begitu hampir setiap hari selama
satu semester lewat, sampai-sampai dia pun mulai akrab dengan teman-teman
kelasku yang lainnya. Tapi tidak dengan aku yang selalu lebih senang duduk
berlama-lama di kursiku, di barisan paling belakang. Bahkan, teman semejaku,
Lily pun butuh waktu lama untuk akrab denganku sebab sikapku yang selalu cepat
hilang fokus dan beralih pada sesuatu yang menarik perhatianku dengan spontan.
Saat Lily bicara, aku seringkali tiba-tiba malah sedang memperhatikan orang
lain yang lebih berisik, lebih mencolok, lebih aktif, atau bahkan lebih diam.
Aku tak mengerti kriteria hal-hal yang bisa menarik perhatianku, semua terjadi
begitu saja.
Suatu
waktu, aku pernah bertukar tatap selama sekejap dengan Des saat aku sedang
memerhatikannya, sedangkan Des sedang tak sengaja mengedarkan pandangannya ke
seluruh kelas. Kenapa sekejap? Karena sekali pun aku sering tak sadar saat
sedang memperhatikan orang-orang, tapi ketika ketahuan kemudian diperhatikan
balik maka aku akan langsung sadar dan membuang tatap ke arah lain. Senang diperhatikan,
tapi takut jadi pusat perhatian. Gitu, deh.
Oh iya, Des
ini laki-laki. Cukup tinggi kalau mengingat aku yang hanya 149,5 cm, sedangkan
Des mungkin sekitar 170 sampai 175 cm. Kulitnya bersih -tapi tidak terlalu
putih dan tidak terlalu coklat dan bukan juga kuning langsat-, matanya agak
sipit, hidungnya tidak mancung-mancung amat, bibirnya tipis dan entah kenapa
perpaduan dari semua itu kemudian memberikan kesan teduh pada wajah Des setiap
kali aku melihatnya. Entah kenapa.
***
Di suatu
hari saat kelas X semester genap, seperti biasa Des ke kelasku. Tapi dia tidak
menuju sekumpulan teman SMP-nya, melainkan berjalan ke arahku dan berhenti di
mejaku.
“Eh…,” sapa Des. Aku faham, dia
mungkin tak tau namaku.
“Iya,” jawabku secukupnya. Aku tak
begitu tertarik memulai obrolan dengannya karena aku tidak dalam kepentingan
untuk bicara dengannya.
“Bisa ngobrol bentar nggak?,”
tanyanya padaku. Aku tak tau bagaimana ekspresinya, karena aku tak mendongakkan
kepalaku ke wajahnya, melainkan tetap memperhatikan huruf-huruf di dalam novel
yang selalu kubawa ke mana-mana -dengan maksud agar bisa selalu membacanya
untuk membantu melatih fokusku, meskipun tidak ada pengaruhnya juga, sih-.
“Kok, tiba-tiba ngajak ngobrol?,”
aku balik bertanya dengan santai, masih tanpa mendongak.
“Habis, gue liat lo tiap hari
ngeliatin gue dan temen-temen gue terus, dengan tampang yang nggak enak lagi.
Kita berisik banget, ya? Kita bikin lo keganggu?,” pertanyaan Des seketika
membuatku merasa bersalah. Aku sama sekali tidak terganggu, aku senang ada
keramaian. Tapi aku tidak bisa melepaskan kebiasaanku memperhatikan orang.
Kalau soal tampang yang tidak enak, aku pun tak tau. Yang aku sadari, saat
sedang serius memperhatikan orang, aku memang tidak tersenyum, tapi apa iya
tampangku tidak enak? Kalau aku tau, aku tidak akan sengaja begitu. Tapi ya
memang sih, bisa jadi benar tampangku tidak enak seperti yang Des katakan. Hm.
Aku diam untuk dua detik yang terasa
seperti dua jam sebelum merespon Des. Aku memilih kata yang pas untuk menjawab
Des karena tak mungkin menjelaskan kebiasaanku dengan panjang lebar, aku tidak
dalam posisi yang harus menjelaskan itu, bukan? Ini hanya soal tampangku yang
tidak enak saat memperhatikan mereka. Ya setidaknya, kupikir begitu. Dan lalu
keluarlah jawaban untuk Des dari mulutku yang aku sendiri kaget mendengarnya,
“Maaf…”
What?
Maaf, kataku?
“Kok, maaf?,” tanya Des sambil duduk
di kursi pada barisan di depanku dengan tetap menghadap ke arahku.
“Nggak bermaksud nunjukkin kalo gue
terganggu. Lain kali, gue nggak liatin lagi…,” aku menjawab sambil menciut.
Tinggiku yang tadinya 149,5 cm rasa-rasanya langsung terpangkas menjadi 30 cm,
sama panjangnya dengan penggaris besi yang selalu dibawa-bawa guru piket untuk
memukul punggung tangan anak-anak yang kukunya panjang-panjang dan diberi warna
aneh-aneh.
“Kok lo lucu, sih?,” Des tersenyum.
Iya, aku tau dia tersenyum karena aku mendongak tepat setelah aku bilang aku
tak akan ngelihatin dia dan teman-temannya lagi.
Des berdiri dan kembali ke
teman-temannya di kursi depan masih dengan tersenyum. Lalu aku sadar bahwa ada
yang menarik perhatianku. Senyumnya!
Senyum Des.
***
Aku menunduk, berusaha mensugesti
telingaku agar jadi tuli sesaat hanya supaya tidak mendengar pembicaraan Des
dan teman-temannya sehinga tidak kembali tertarik. Kubaca novelku dengan
teriakan di dalam hati, namun nyatanya kehebohan mereka menandingi suara
berisik dari hatiku sendiri. Ah! Aku kan
sudah bilang tidak akan ngelihatin mereka lagi.
Akhirnya, aku malah benaran
terganggu. Aku pun keluar dari kelas dengan membawa novelku dan berniat
membacanya di kursi panjang di luar kelas. Tapi sayang sekali, suasana di luar
kelas yang jauh lebih ramai malah makin membuatku lupa dengan niatku dan makin
tak bisa menahan diriku untuk terus memperhatikan orang-orang. Ah sial, ini
kebiasaan atau kutukan?
***
Setiba di
rumah, aku mengecek ponselku. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak
kusimpan. Aku membukanya, isinya, “Sorry ya, rasanya lo sangat keganggu sampe
harus keluar kelas tadi.”
Itu Des. Pasti Des! Nama yang mudah kuingat,
tapi kok sekarang malah terasa aneh. Dia laki-laki, tapi dipanggil Des. Apakah
namanya Desi? Atau Desinta? Atau Deswita? Atau Desir pasir di padang tandus?
Hahaha.
Ah! Aku malah melamunkan
tebak-tebakan bodoh.
Beberapa
saat setelah membukanya, aku baru merasa punya kata yang tepat untuk
membalasnya. “Gue nggak keganggu kok, lagi ingin di luar aja tadi.”
Iya,
balasan yang sangat bodoh itu ternyata perlu aku pikirkan dulu dengan otakku
yang hanya sesendok teh ini.
“Besok kan hari minggu, ketemu yuk!
Di Café Nongkrong ya, jam 7 malem. Kita bicara langsung biar lebih enak,”
tau-tau saja Des membalas begitu. Dan tau tau saja aku menurutinya dengan
membalas, “Ok.” Dan tau-tau saja aku sudah ada di café ini. Menunggu Des
datang. Di antara kerumunan ramai orang di meja-meja lain di sekelilingku. Ah,
bagaimana bisa aku tidak memperhatikan orang-orang ini? Bodohnya!
***
Sudah jam 7 lewat 15 menit, tapi Des
belum datang juga. Aku hampir kesal, aku sudah berkali-kali bertatap mata
dengan orang-orang yang menangkapku sedang memperhatikan mereka, dan itu
membuatku merasa seperti stalker yang
ketahuan sedang menguntit korbannya. Seperti di drama-drama korea begitu, if you know what I mean.
Jam 7 lewat 20 menit, Des datang
dengan mengagetkanku. Dia menepuk bahuku dengan tenaga yang sangat dalam
kurasa, sampai-sampai bisa membuat wajahku hampir terjerembap ke dalam segelas cappucino float di depanku.
“Eh, maaf. Kena minuman lo nggak?,”
Des bertanya dengan nada merasa bersalah tapi hanya setengah hati, karena aku
tau ada senyum juga di dalam pertanyaannya, senyum yang menarik perhatianku.
Bukan senyum sinis, tapi hanya senyum. Senyum Des.
“Nggak, kok. Nggak kena. Kenapa lo
baru dateng? Dua puluh menit sendirian di sini rasanya seperti dua puluh
tahun,” aku nyerocos sambil mengangkat kepalaku dan sedikit terkejut melihat
Des sudah duduk di kursi sebrangku sambil tersenyum. Sekali lagi, senyum Des.
“Maaf ya, tadi anter nyokap dulu
kondangan. Biasa, ibu-ibu. Hehe,” Des menjawabku dengan mantap dan tentu saja
dengan senyum juga. Membuat aku percaya bahwa dia benar-benar mengantar ibunya.
Eh, tapi kenapa juga aku musti tidak percaya, ya? Hahaha.
Aku hanya bergumam sambil menyeruput
cappucino float-ku yang ice cream nya sudah mencair, saat Des
tiba-tiba menyodorkan tangannya ke arahku sambil berkata, “Nama gue Des.
Tepatnya, Desember.”
Aku setengah terkejut, lalu
tersenyum kecil, “Gue Er. Tepatnya, Erina.”
Aku masih saja tersenyum lalu
melanjutkan, “Nama lo beneran Desember?”
“Tentu aja beneran. Gue lahir di
bulan Desember. Jadi, orang tua gue yang nggak ingin repot-repot cari nama
akhirnya menamakan gue berdasarkan bulan lahir gue. As simple as that. Bahkan, kakak gue yang lahir di bulan Januari
pun namanya Januari. Hahaha.” Des menjawabku sambil tertawa-tawa.
Dan malam itu, entah kenapa
tertawanya terdengar lebih enak daripada cappucino
float-ku. Ah, Desember.
***
Aku yang
mudah jatuh cinta atau Des yang terlahir untuk mudah dicintai? Entahlah. Meski
rasanya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa aku jatuh cinta pada Des, tapi
sebuah rasa yang menyenangkan tak pernah habis menghampiriku selagi melihat
tawa Des dengan teman-temannya di kursi paling depan.
Selama
pertemuan yang ternyata tak menghasilkan pembicaraan yang bermutu kecuali
perkenalan ngalor-ngidul yang tak penting malam itu, Des selalu mampir ke
mejaku tiap kali dia datang ke kelasku. Hanya mampir, sekedar untuk
mengacak-acak rambutku, mencubit pipiku, tiba-tiba saja menutup novel yang
sedang kubaca, atau duduk di kursi depan mejaku sambil berbasa-basi minta
diceritakan soal bagian novel yang sudah kubaca, lalu kembali lagi pada
teman-temannya.
Karena itulah,
seluruh kelas menggosipkan kami berpacaran. Tapi Des hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai gosip-gosip itu dengan senyum, aku pun begitu.
Sikap
tenang Des itu menularkan ketenangan juga padaku. Meskipun kami tak pernah
bicara banyak, sebab selain pertemuan yang hanya sebentar di jam isitrahat, Des
tidak pernah lagi mengajakku keluar dan tidak pernah juga mengirimiku pesan
digital. Tapi itu justru membuat waktuku yang singkat bersama Des menjadi
terasa begitu berharga. Oh, Des. Desember.
***
Hari ini,
hari pertama masuk ke kelas XI. Aku datang lebih pagi untuk mengincar kursi
paling belakang. Aku senang bisa memerhatikan banyak orang dari kursi belakang
tanpa disadari oleh mereka, meskipun terkadang ada saja orang yang terlalu peka
sehingga pundaknya seolah tertusuk jarum-jarum kecil saat aku sedang
memerhatikannya dan mereka mau tak mau menoleh ke arahku. Tapi bagiku sih tak
begitu masalah, aku sudah siap membuang tatap ke segala arah untuk menghindari
tatapan ala target-memergoki-stalker dari
mereka. Hahaha.
Setelah aku
menempati kursi paling belakang, kelas masih saja sepi. Baru ada aku dan dua
murid lain, keduanya perempuan. Mereka tidak berasal dari kelas X yang sama
denganku, tidak juga begitu populer untuk membuatku memerhatikannya sehingga
aku tak begitu mengingat wajah apalagi nama mereka. Tapi karena saat ini kami
ada di ruangan yang sama, aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak
memerhatikan mereka lekat-lekat dari kursiku.
Kesunyian yang mereka ciptakan
menarik perhatianku. Salah satu murid yang duduk di barisan tengah paling kanan
sedang sibuk membaca lalu mencoret-coret bukunya dengan ekspresi marah,
satu-satunya suara yang dia timbulkan hanyalah suara saat ia membolak-balik
lembaran bukunya.
Yang satunya lagi duduk di paling
kiri dan paling depan, tepat di sebrang meja guru. Ia sedang tertidur. Iya,
tertidur. Dengan meja yang hanya berjarak 1 meter dari meja guru, ia tertidur. Bagaimana hari-harinya ke depan nanti, ya?
***
Selagi
merasa sudah tidak ada lagi yang dapat menarik perhatianku dari kedua murid tak
kukenal itu, aku membuka novelku, membacanya, begitu terlarut sampai-sampai aku
merasa sangat terkejut saat mendengar suara tas menggebuk mejaku dan melihat
seorang berwajah teduh duduk di sebelahku. Itu
Des!
“Gue duduk di sini, boleh dong?,” Des bertanya
sambil bergerak-gerak mencari posisi duduk ternyaman di kursi sebelahku. Aku
mengangguk lalu meletakkan telunjuk kananku di bibir sambil menggumam, “Ssst!,”
Aku sedang nyaman dengan keheningan ini dan tidak ingin Des merusaknya.
Meskipun di hatiku rasanya ingin mendengar Des bicara lebih banyak sebab libur
kenaikan kelas dua minggu kemarin membuatku tersiksa rindu yang begitu dalam,
tapi aku tak ingin kelihatan terlalu tertarik pada kedatangannya. Jaim, gitu.
Des
membalasku hanya dengan bergumam, ia meletakkan kepalanya di meja dengan
menghadap ke arahku, berkedip-kedip memandangku sebentar, lalu terpejam.
Tadinya, aku hanya sedikit deg-degan, namun deg-deganku semakin menjadi-jadi
saat sudut mataku menangkap Des sedang terpejam di sampingku. Wajahnya yang
teduh benar-benar enak dipandang.
Waktu masuk kelas kurang dari
setengah jam lagi, langkah-langkah berisik mulai memenuhi kelas. Tapi telingaku
yang dipenuhi keberisikan itu sama sekali tidak merusak fokusku yang terpaku
pada Des. Sama sekali. Sampai seseorang menusuk-nusuk bahuku dengan
jari-jarinya, “Er…” panggilnya.
Aku
terkejut dan langsung menoleh. Itu Lily.
Aku bisa merasakan wajahku memerah dan memanas karena malu, merasa tertangkap
basah sedang memerhatikan Des dengan sangat fokus. “Gue tau pacar lu itu
ganteng, tapi mending lu bangunin dia. Bentar lagi Pak Alam masuk,” Lily
memperingatkan aku dengan sedikit berbisik. Sesaat, aku masih linglung, namun
kemudian tersadar dan langsung menepuk bahu Des sekeras-kerasnya. Reflex.
Des -yang
aku yakin merasa bahunya seperti tersengat karena pukulanku yang begitu keras-
mau tak mau terbangun dan langsung duduk dengan tegap. Aku melihat pemandangan
ini dengan gemas. Sangat gemas. Wajahnya yang terkejut dengan mata sipit
-seperti orang-orang yang baru bangun tidur pada umumnya- masih tetap saja
nampak teduh. Bagaimana aku melewati
jam-jam ke depan dan hari-hari esok kalau pagi ini saja sudah begitu
menyesakkan saking menyenangkannya? Aduh!
***
Jam
istirahat.
Des tidak
keluar kelas, dia melanjutkan tidurnya pagi tadi yang sempat terputus oleh dua
mata pelajaran dengan guru-guru yang menyeramkan. Aku duduk membelakangi Des,
menghadap ke arah Lily yang duduk di meja seberang kananku. “Kenapa?”, tanya
Lily tanpa menoleh padaku, ia sedang membaca-baca pesan di ponselnya. “Jadi,
sekarang udah tau apa yang bisa bikin lo fokus?,” lanjutnya.
Aku
memasang wajah bingung sambil memiringkan kepalaku dan menatap Lily
lekat-lekat. Aku tak mengerti kenapa Lily tiba-tiba membahas masalah fokusku, padahal
aku saja tidak tau apa yang ingin aku bicarakan dengannya saat aku tiba-tiba
menghadap ke arahnya tadi. Niatku hanya ingin membuang muka dari Des.
“Itu… Des.”
Lily menjawab kebingunganku, lalu meninggalkanku keluar kelas tanpa bicara
lagi. Aku berbalik ke arah Des, memandanginya sambil memikirkan kata-kata Lily.
Kenapa juga di jam istirahat yang seharusnya menenangkan ini, Lily malah
memberiku PR yang harus dipikirkan benar-benar.
Setelah
beberapa saat memandangi Des, isi pikiranku buyar. Fokusku hanya jatuh pada Des
dan keteduhan yang berasal dari wajahnya. Meskipun saat ini Des ada di
sampingku, tapi aku malah rindu saat-saat Des datang ke kelasku, tertawa
keras-keras dengan teman-temannya di kursi paling depan, menjahiliku,
memergokiku yang sedang memandanginya sambil tetap tersenyum padaku, dan
semuanya tentang Des di kelas X. Des.
Des. Apa yang harus aku lakukan padamu dan kerinduan ini?
Kemudian,
di antara fokusku pada Des saat ini dan kerinduanku pada Des saat lalu, Des
membuka matanya pelan, aku buru-buru menoleh ke arah lain sambil melirik-lirik
pada Des yang tersenyum. Des menarik lenganku dan menjadikannya bantal. Yang benar saja! Kepala Des ada di atas
lenganku! Yang benar saja! Dadaku sesak menahan senang yang meletup-letup. Yang
benar saja! Aku tak bisa tak tersenyum.
Aku
menyerah pada Des, aku tersenyum dan berbisik ke telinganya, “Kepalamu berat,
awas dong!” Kalian boleh mengataiku bodoh karena bicara begitu. Tapi aku
benar-benar tak bisa waras menghadapi keromantisan Des. Yaaa… Adegan itu memang romantis, kan? Atau tidak?
Des
tersenyum dan membalasku sambil berbisik juga, “Sebentaaar aja. Kepalaku yang
berat ini sakit karena tidur nggak pake bantal…” Aku tak bisa berkata-kata
lagi. Aku membiarkan Des terlelap di lenganku dan menyadari, barusan aku bicara aku-kamu-an sama Des? Ah!
Yang benar saja! Aku tak bisa untuk tidak tersenyum lagi.
***
Istirahat
pertama selesai. Suara lantang dari bel yang menjadi penutup istirahat pertama
hari itu terdengar seperti alunan lagu cinta di telingaku, sama sekali tidak
memecah fokusku dari Des sampai ada jari-jari yang menusuk-nusuk punggungku
lagi seperti tadi pagi, jari-jari Lily.
“Sekalinya
nggak fokus, bener-bener kacau. Sekalinya fokus, bener-bener nggak keganggu.
Sampe suara bel yang bikin kuping hampir tuli aja nggak bikin lo berpaling dari
si Des ini. ckck…” Lily mengoceh sambil duduk di pinggir mejanya dengan tatapan
menghujam ke arahku.
Aku hanya
bisa nyengir merespon ocehan Lily.
“Bangunin buruan pacar lo!” Lily mengingatkanku. Aku pun reflex menarik lenganku yang dijadikan bantal oleh Des, kepala Des
langsung membentur meja dengan cukup keras sampai-sampai menimbulkan bunyi yang
membuat seisi kelas menoleh ke arah kami. Des terbangun sambil mengaduh, aku
yang menyadari benturan kepala Des yang keras itu reflex mengusap-usap kepala Des dan membuat seisi kelas yang sedang
menoleh ke arah kami bersorak kesal.
“YEEE GUE KIRA KETIBAN LEMARI!”
“Yailah cuma roman picisan aja nih.”
“Waduh! Berasa drama korea kali…”
“Pasangan baru dimabuk cinta,
maklum.”
“Mau jadi Lee Min Ho sama Suzy wanna
be kali ah!”
“Apanya
yang berasa drama korea?” Ok, ini pertanyaan yang datang dari Pak Nufus yang
entah sejak kapan bersandar di pintu kelas. Semua anak terdiam dan langsung
duduk di tempat mereka masing-masing. Aku langsung melipat tanganku -yang
tadinya sedang mengusap-usap kepala Des- di atas meja dan duduk dengan tegap
menghadap ke papan tulis.
“Kenapa,
Des?” Pak Nufus melempar pandangan ke arah Des. Tapi beruntung, tak ada nada
marah di dalam pertanyaannya. Aku banyak mendengar rumor kalau Pak Nufus ini
memang guru yang cukup santai dan sangat baik hati.
“Kejedot,
Pak. Tapi udah baikan, kok. Udah diusap-usap sama pacar saya…” jawab Des santai
sambil membenarkan duduknya ke arah Pak Nufus, tanpa melepaskan tangan dari
kelapanya. Jawabannya membuatku merasa malu setengah mati. Sorakan anak-anak
membuat rasa malu-ku menjadi berlipat-lipat. Kenapa anak ini tengil sekali sih!
“Kamu punya
tangan ajaib, Er?” tanya Pak Nufus sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah
tempat duduknya. Aku saat ini sudah dikuasai kesadaran, aku sadar Pak Nufus
barusan menyebut nama Des dan juga namaku sebagai pacar Des. Tapi hari ini
adalah hari pertama aku bertemu Pak Nufus, -sebelumnya sih hanya pernah sekedar
berpapasan saja-. Kalau Des, aku tak tau. Tapi bisa jadi Des juga tidak
mengenal Pak Nufus karena Pak Nufus tidak mengajar kelas X, beliau hanya
mengajar di kelas XI dan XII. Aku pun… tanpa bisa terkendali, deg-degan dengan
hebat. Pak Nufus kok tau nama kami? Pak
Nufus juga tau aku pacar Des? Padahal pacaran saja belum! Des pasti hanya
bercanda! Apakah gosip soal kami yang berpacaran sudah sampai ke ruang guru?
Otteokeee?! (baca: bahasa korea, artinya “Gimanaaa?”)
Tanpa memedulikan kebingunganku, Pak
Nufus memulai pelajaran pertama setelah istirahat pertama. Ya aku siapa juga harus dipedulikan Pak Nufus. Tapi gara-gara
kepikiran soal Pak Nufus yang tau perihal aku dan Des, aku jadi tak bisa fokus
selama pelajaran berlangsung, sedangkan Des yang tengil itu malah nampak segar
dan enjoy menikmati pelajaran setelah
melalui tidur nyenyak serta benturan keras di kepalanya yang membuat matanya
mau tak mau terbuka lebar. Aku tak mungkin mencari fokus dengan memerhatikan
Des, bukan Des yang saat ini harus aku perhatikan, tapi Pak Nufus. Ah! Aku
kehilangan fokusku lagi.
***
Pelajaran
kesenian dari Pak Nufus selesai. Aku akhirnya tau betapa menyenangkannya Pak
Nufus meskipun aku memang tidak begitu fokus memperhatikannya tadi. Ada jeda
beberapa menit sebelum pelajaran selanjutnya dimulai, aku mengambil kesempatan
ini untuk bicara pada Des.
“Maaf ya,
tadi reflex narik lenganku. Kepalamu
nggak apa-apa, kan?” aku memulai obrolan dengan Des. Des menoleh kepadaku
sambil tersenyum. Ya Tuhan! Tolong aku!
Kenapa laki-laki ini manis sekali, sih!
“Nggak
apa-apa. Kan kamu juga udah ngusap-ngusap kepalaku tadi. Jadi, sakitnya
langsung hilang.” Des menatap lurus ke mataku sambil menopang kepalanya dengan
satu tangan sehingga posisinya nyaman menengok ke arahku. Ya Tuhan! Tolong aku lagi! Aku pasti sudah benar-benar jatuh cinta pada
laki-laki tengil ini!
Aku menelan ludah. Menahan senyum
dengan susah payah. Tapi entah kenapa mataku tak mau berlari dari tatapan Des.
Baru beberapa detik bertatapan dengan Des, hatiku serasa sudah dipanah cupid berjuta-juta kali, sesaknya tak
mau hilang.
“Jadi
pacarku, ya…” permintaan Des untuk sesaat membuat aku membeku, lalu usapan
lembut Des pada rambutku mengembalikan fokusku. Aku langsung memutar tubuhku
membelakangi Des dan bertemu tatap dengan Lily yang sedang melihat ke arah
kami.
“Baru
pacaran ternyata…” Lily menatapku heran. Aku langsung menarik tangan Lily dan
membawanya berjalan cepat menuju toilet di samping kelas kami. Beruntung, belum
ada guru yang masuk ke kelas.
Di dalam
toilet, aku bernafas serakus mungkin. Berada di dekat Des membuat paru-paru,
jantung, dan hatiku kesulitan menjalankan fungsinya. “Gue harus gimanaaa?”
bentakku pada Lily.
“Loh, kok
nanya gue?” Lily tampak cuek-cuek saja merespon nada panik dalam suaraku. “Lo diajak
pacaran, tapi lo malah kabur. Dan malah ngajak gue ke toilet cuma buat
diskusiin ginian.” Nada suara Lily mengandung sedikit kekesalan. “Mending, kita
balik ke kelas. Lo duduk lagi di samping Des. Terus, bilang iya ke dia. Kelar urusan. Pacaran deh lo
berdua.” Suara Lily kembali cuek.
“Segampang
itukah?” tanyaku masih panik. “Iya!” jawab Lily tegas dan langsung berjalan
keluar toilet menuju kembali ke kelas kami. Tapi saat Lily mencoba membuka
pintu kelas, pintunya terkunci. Aku berjinjit dan mengintip ke dalam kelas
melalui kaca di bagian atas pintu kelas, ada seorang guru yang tidak cukup
familiar di mataku sedang berbicara di depan kelas. Lily juga tidak mengenali
guru tersebut.
Lily
berlari ke jendela di pojok kelas dan mengetuknya perlahan. Namun, jendela yang
tertutup rapat oleh gorden tersebut tidak menyisakan ruang untuk kami mengintip
ke dalam dan berbicara dengan teman sebangku Lily, si Wira. Beberapa saat
setelah tragedi ketuk-ketuk jendela, Wira menyelipkan lipatan kertas ke
sela-sela jendela. Lily langsung menariknya.
“Guru ini super killer. Kalo dia udah masuk
kelas, pintu langsung dikunci. Makanya, nggak boleh telat. Openingnya aja udah
serem dari tadi. Mending lo berdua makan di kantin. Udah dicatet nggak masuk
tuh tadi pas absen. See you! Hahaha!” begitulah isi lipatan kertas dari
Wira. Konyol sekali rasanya, hari pertama di kelas XI, kami langsung dapat guru
killer dan tidak sempat masuk ke
kelasnya pula. Kami sudah harus bersiap-siap untuk hukuman sepertinya.
Karena aku
dan Lily adalah basis kursi belakang yang kalem dan adem, kita tidak punya
nyali untuk bolos ke kantin. Sekali pun tidak boleh masuk kelas, setidaknya
kita duduk diam saja menunggu di depan kelas sampai pelajaran selesai.
***
Dua jam
berlalu, aku dan Lily berdiri berjajar di depan pintu kelas, menunggu Sang Guru
Killer keluar. Saat guru tersebut
keluar, aku dan Lily menunduk dan dengan kompak berkata, “Maaf, Bu. Kita
telat…”, namun dengan angkuh si Ibu Guru tidak sama sekali menoleh pada kami dan
berlalu begitu saja. Aku dan Lily saling bertatapan dengan bingung, “SECUEK
ITUUU???”, Lily berbisik tapi teriak, takut kalau si Ibu Guru masih bisa
mendengarnya karena ia belum berjalan terlalu jauh dari kami. Tau kan berbisik tapi teriak? Tau dong harusnya,
ya!
Aku yang berniat menggaet kursi Lily
untuk menghindari Des segera masuk ke kelas dan berhasil menggaet kursinya.
Lily yang faham maksudku hanya menghela napas padaku lalu duduk di kursiku, di
samping Des. Des tidak begitu peduli, dia tidak menengok padaku dan tidak juga
bertanya pada Lily.
Ya sudah!
***
Bel pulang
sekolah berbunyi. Suara grasak-grusuk memenuhi seisi sekolah, semua anak
seperti ingin buru-buru pulang. Bagiku, hari pertama di kelas XI ini terasa
sangat panjang dan tak selesai-selesai. Melelahkan.
Aku keluar
kelas bersama Lily, turun ke lantai dasar dan berpisah. Aku langsung menuju ke
gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum, sedangkan Lily berjalan ke arah
parkiran motor karena ia menggunakan motor ke sekolah. Aku belum berteguran
dengan Des, tapi aku tau dia berjalan di belakangku dan Lily sedari tadi.
Sesaat
setelah Lily berbelok ke parkiran motor, Des yang masih berjalan di belakangku
berkata, “Er, tunggu depan gerbang ya, jangan ke mana-mana!”. Aku menengok ke
belakang, tapi Des sudah berbalik jalan ke parkiran motor.
Wait, what? Tunggu? Aku dimintanya menunggu?
Untuk apa? Kok aku senang? Kok aku deg-degan? Apakah menunggu Des akan
menyenangkan?
***
Aku anak
yang penurut, memang. Aku menunggu Des di depan gerbang sekolah, tidak ke
mana-mana. Sampai sekitar 5 menit, Des dengan motor matic-nya berhenti di depanku. “Jadi pacarku, ya…” untuk ke dua
kalinya, Des mengulang kalimat itu dengan tiba-tiba lagi. Tapi aku lagi-lagi
membeku. Aku kaget. Tak bisa bicara sama sekali. Bagaimana aku harus menjawab Des dengan benar? “Iya” saja? Atau “Iya
mau”? Atau “Iya aku mau jadi pacarmu”? Atau bagaimana? Aduh!
Tapi Des sepertinya faham
kebingunganku, ia hanya tersenyum dengan manisnya. Dan itu malahan menambah
sesak di dadaku.
“Ayok naik!” pinta Des. Aku, si
penurut ini langsung naik ke motor Des.
“Aku mau
anter kamu pulang, tapi aku cuma tau daerah rumahmu, belum tau persisnya di
mana rumahmu. Kasih tau, ya!” pinta Des lagi. Aku dengan payah mengembalikan
kesadaranku setelah linglung sesaat karena kalimat Des. Lalu aku menjawab Des
dengan keisengan yang kususahpayahkan, “Kasih tau nggak, yaaa?” sambil tertawa
pelan. Wajah Des yang bisa kulihat dari kaca spion menyunggingkan senyumnya
sambil bilang, “Kasih tau dooong!”. Ok, aku yang penurut ini kemudian hanya
mengangguk dan merasa senang sekali. Desember,
you did melt my heart!
Des sangat
menyenangkan sebagai teman bicara, suaranya merdu, nafasnya saja kusuka.
Hehehe. Dia terus mendominasi obrolan kami selama perjalanan menuju rumahku.
Aku tak bannyak bicara, melainkan hanya merespon secukupnya saja pada setiap
kata yang Des ucapkan. Bukan karena aku tak suka bicara, tapi karena aku
bernafas saja susah payah, apalagi bicara. Serius loh, aku betul-betul
deg-degan!
Lalu kita
sampai pada obrolan tentang Pak Nufus, guru menyenangkan yang tiba-tiba saja
sudah tau namaku dan nama Des di hari pertama perkenalan kita ini. “Kamu tau,
Pak Nufus itu tetanggaku. Makanya, dia tau namaku. Dia tetangga yang asik,
seasik cara mengajarnya tadi. Dan keluargaku cukup akrab dengan keluarga Pak
Nufus.”
“Oh
begitu,…” gumamku. “Kok Pak Nufus tau namaku juga, ya? Kan aku nggak tetanggaan
sama dia…” tanyaku kemudian.
“Hahaha. Ya
nggak harus jadi tetangga juga dong untuk bisa tau namamu. Kita bukan tetangga,
tapi aku tau namamu,” seluruh kalimat yang keluar dari mulut Des itu diiringi
tawa yang enaaak sekali. Jadi begini
rasanya bisa membuat orang yang kamu kagumi tertawa. Menyenangkan!
Des lalu
melanjutkan kalimatnya, “Ini rahasia yaaa! Pak Nufus tau namamu dari aku. Aku
sudah sering cerita tentangmu. Sebetulnya, aku ingin mengorek informasi tentang
kamu dari Pak Nufus, tapi ternyata Pak Nufus tidak kenal kamu, jadi malah aku
yang mengenalkan kamu ke dia.”
“Ceritain apa kamu ke Pak Nufus?” tanyaku.
“Cerita kalau aku suka sama siswi yang namanya Erina…” jawab
Des dengan senyum genit yang bisa kulihat jelas dari kaca spion kiri motornya.
Lalu, hening.
Aku
terkejut dan lidahku menolak bicara. Wajahku memanas karena malu, jantungku
deg-degan membunyikan irama seperti suara pintu yang sedang diketuk, padahal
memang benar pintuku sedang di ketuk oleh Des. Iya pintuku, pintu hatiku.
Aku, si
penurut ini tidak bisa untuk tidak mempersilahkannya masuk. Des, kamu harus tau, aku suka dengan
kesopananmu yang tetap mengetuk dulu pintuku, meski aku sudah dari kapan-kapan
membukakannya untukmu.
Dan selama sisa perjalanan kami, Des
hanya diam. Sedangkan aku hanya bicara ketika mengarahkan ke mana Des harus
melajukan motornya.
***
20 menit
perjalanan kami terasa hanya seperti 2 detik. Hal-hal menyenangkan selalu
terasa singkat dan kurang. Kita manusia yang sama kan? Tak pernah puas. Ah!
Des mengantarku tepat sampai gerbang
depan rumahku. Dengan deg-degan yang masih tersisa banyak, aku turun dari motor
Des sambil memegangi bahunya. Aku merasakan sekali bahu Des yang terkejut dan
menjadi kaku ketika aku menyentuhnya. Tapi aku senang, Des juga deg-degan!
Des menengok padaku dan melepas
helmnya. Tanpa intermezzo lagi, Des
mengulangi kalimatnya seperti yang di sekolah tadi, “Untuk ketiga kalinya. Jadi
pacarku, ya, Er…”
Kalimat itu tetap terdengar luar
biasa meski sudah tiga kali kudengar seharian ini, ditambah namaku diujungnya
membuat deg-deganku jadi tak habis-habis. Aku menatap wajah Des yang meneduhkan
itu. Seperti terhipnotis, aku yang penurut ini akhirnya menggangguk kepada Des.
Untungnya, meski lidahku kaku, aku
masih bisa mengangguk. Kalau tidak, Des mungkin akan mengulang kalimat luar
biasa itu untuk keempat kalinya dan bisa-bisa bukan lidahku saja yang kaku tapi
juga seluruh tubuhku. Untungnya, ya!
***
Thanks,
Desember! Seorang siswa SMA yang menyita fokusku dan membuatku merasa bahwa
kamu bukan sekedar Desember bagiku, tapi juga satu paket berisi 12 bulan yang
semoga bisa selalu melengkapi tahun-tahunku. I heart you.
TAMAT.
Ditulis oleh Mahfira Intan di Tangerang, sejak 23 Desember 2017, jam 3 pagi dan selesai ditulis pada 10 Maret 2018, jam 9 malam