Aku selalu
memperhatikan orang, bukan karena aku suka. Tapi itu kebiasaan spontan yang
terkadang aku bahkan tak sadar sedang melakukannya. Terjadi begitu saja. Dan
hari itu, aku memperhatikan Des dengan sekumpulan teman-teman sekelasku, ada
Adira, Roni, Amila, Chandra, Egi dan Yulis. Mereka mengobrol dengan heboh,
seperti sedang reunian SMP setelah 17 tahun tidak ketemu. Aku mendengar mereka
dengan samar karena aku berada di kursi paling belakang sedangkan mereka
mengobrol di kursi paling depan. Tapi meski begitu, nama Des seolah tak bisa
membuat orang salah dengar. Nama panggil yang begitu singkat, sederhana, dan
mudah diingat.
Entah apa yang mereka obrolkan, tapi di antara percakapan yang heboh itu, aku mendengar Yulis berkata sambil menampar bahu Des dengan bercanda tapi cukup bertenaga, “Elo kan Des yang waktu itu…,” Aku hanya mendengarnya sampai di situ saja, karena kemudian suara Yulis ditanggapi bertubi-tubi oleh yang lainnya dan obrolan itu menjadi heboh lagi.
Lagi pada nostalgia masa SMP, kayaknya…, begitulah isi pikiranku tanpa pernah menyadari bahwa itulah pertama kali aku tau nama Des.
***
Istirahat keesokan harinya, Des ke kelasku lagi. Dan terus begitu hampir setiap hari selama satu semester lewat, sampai-sampai dia pun mulai akrab dengan teman-teman kelasku yang lainnya. Tapi tidak dengan aku yang selalu lebih senang duduk berlama-lama di kursiku, di barisan paling belakang. Bahkan, teman semejaku, Lily pun butuh waktu lama untuk akrab denganku sebab sikapku yang selalu cepat hilang fokus dan beralih pada sesuatu yang menarik perhatianku dengan spontan. Saat Lily bicara, aku seringkali tiba-tiba malah sedang memperhatikan orang lain yang lebih berisik, lebih mencolok, lebih aktif, atau bahkan lebih diam. Aku tak mengerti kriteria hal-hal yang bisa menarik perhatianku, semua terjadi begitu saja.
Suatu waktu, aku pernah bertukar tatap selama sekejap dengan Des saat aku sedang memerhatikannya, sedangkan Des sedang tak sengaja mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Kenapa sekejap? Karena sekali pun aku sering tak sadar saat sedang memperhatikan orang-orang, tapi ketika ketahuan kemudian diperhatikan balik maka aku akan langsung sadar dan membuang tatap ke arah lain. Senang diperhatikan, tapi takut jadi pusat perhatian. Gitu, deh.
Oh iya, Des ini laki-laki. Cukup tinggi kalau mengingat aku yang hanya 149,5 cm, sedangkan Des mungkin sekitar 170 sampai 175 cm. Kulitnya bersih -tapi tidak terlalu putih dan tidak terlalu coklat dan bukan juga kuning langsat-, matanya agak sipit, hidungnya tidak mancung-mancung amat, bibirnya tipis dan entah kenapa perpaduan dari semua itu kemudian memberikan kesan teduh pada wajah Des setiap kali aku melihatnya. Entah kenapa.
***
Di suatu hari saat kelas X semester genap, seperti biasa Des ke kelasku. Tapi dia tidak menuju sekumpulan teman SMP-nya, melainkan berjalan ke arahku dan berhenti di mejaku.
“Eh…,” sapa Des. Aku faham, dia mungkin tak tau namaku.
“Iya,” jawabku secukupnya. Aku tak begitu tertarik memulai obrolan dengannya karena aku tidak dalam kepentingan untuk bicara dengannya.
“Bisa ngobrol bentar nggak?,” tanyanya padaku. Aku tak tau bagaimana ekspresinya, karena aku tak mendongakkan kepalaku ke wajahnya, melainkan tetap memperhatikan huruf-huruf di dalam novel yang selalu kubawa ke mana-mana -dengan maksud agar bisa selalu membacanya untuk membantu melatih fokusku, meskipun tidak ada pengaruhnya juga, sih-.
“Kok, tiba-tiba ngajak ngobrol?,” aku balik bertanya dengan santai, masih tanpa mendongak.
“Habis, gue liat lo tiap hari ngeliatin gue dan temen-temen gue terus, dengan tampang yang nggak enak lagi. Kita berisik banget, ya? Kita bikin lo keganggu?,” pertanyaan Des seketika membuatku merasa bersalah. Aku sama sekali tidak terganggu, aku senang ada keramaian. Tapi aku tidak bisa melepaskan kebiasaanku memperhatikan orang. Kalau soal tampang yang tidak enak, aku pun tak tau. Yang aku sadari, saat sedang serius memperhatikan orang, aku memang tidak tersenyum, tapi apa iya tampangku tidak enak? Kalau aku tau, aku tidak akan sengaja begitu. Tapi ya memang sih, bisa jadi benar tampangku tidak enak seperti yang Des katakan. Hm.
Aku diam untuk dua detik yang terasa seperti dua jam sebelum merespon Des. Aku memilih kata yang pas untuk menjawab Des karena tak mungkin menjelaskan kebiasaanku dengan panjang lebar, aku tidak dalam posisi yang harus menjelaskan itu, bukan? Ini hanya soal tampangku yang tidak enak saat memperhatikan mereka. Ya setidaknya, kupikir begitu. Dan lalu keluarlah jawaban untuk Des dari mulutku yang aku sendiri kaget mendengarnya, “Maaf…”
What? Maaf, kataku?
“Kok, maaf?,” tanya Des sambil duduk di kursi pada barisan di depanku dengan tetap menghadap ke arahku.
“Nggak bermaksud nunjukkin kalo gue terganggu. Lain kali, gue nggak liatin lagi…,” aku menjawab sambil menciut. Tinggiku yang tadinya 149,5 cm rasa-rasanya langsung terpangkas menjadi 30 cm, sama panjangnya dengan penggaris besi yang selalu dibawa-bawa guru piket untuk memukul punggung tangan anak-anak yang kukunya panjang-panjang dan diberi warna aneh-aneh.
“Kok lo lucu, sih?,” Des tersenyum. Iya, aku tau dia tersenyum karena aku mendongak tepat setelah aku bilang aku tak akan ngelihatin dia dan teman-temannya lagi.
Des berdiri dan kembali ke teman-temannya di kursi depan masih dengan tersenyum. Lalu aku sadar bahwa ada yang menarik perhatianku. Senyumnya! Senyum Des.
***
Aku menunduk, berusaha mensugesti telingaku agar jadi tuli sesaat hanya supaya tidak mendengar pembicaraan Des dan teman-temannya sehinga tidak kembali tertarik. Kubaca novelku dengan teriakan di dalam hati, namun nyatanya kehebohan mereka menandingi suara berisik dari hatiku sendiri. Ah! Aku kan sudah bilang tidak akan ngelihatin mereka lagi.
Akhirnya, aku malah benaran terganggu. Aku pun keluar dari kelas dengan membawa novelku dan berniat membacanya di kursi panjang di luar kelas. Tapi sayang sekali, suasana di luar kelas yang jauh lebih ramai malah makin membuatku lupa dengan niatku dan makin tak bisa menahan diriku untuk terus memperhatikan orang-orang. Ah sial, ini kebiasaan atau kutukan?
***
Setiba di rumah, aku mengecek ponselku. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kusimpan. Aku membukanya, isinya, “Sorry ya, rasanya lo sangat keganggu sampe harus keluar kelas tadi.”
Itu Des. Pasti Des! Nama yang mudah kuingat, tapi kok sekarang malah terasa aneh. Dia laki-laki, tapi dipanggil Des. Apakah namanya Desi? Atau Desinta? Atau Deswita? Atau Desir pasir di padang tandus? Hahaha.
Ah! Aku malah melamunkan tebak-tebakan bodoh.
Beberapa saat setelah membukanya, aku baru merasa punya kata yang tepat untuk membalasnya. “Gue nggak keganggu kok, lagi ingin di luar aja tadi.”
Iya, balasan yang sangat bodoh itu ternyata perlu aku pikirkan dulu dengan otakku yang hanya sesendok teh ini.
“Besok kan hari minggu, ketemu yuk! Di Café Nongkrong ya, jam 7 malem. Kita bicara langsung biar lebih enak,” tau-tau saja Des membalas begitu. Dan tau tau saja aku menurutinya dengan membalas, “Ok.” Dan tau-tau saja aku sudah ada di café ini. Menunggu Des datang. Di antara kerumunan ramai orang di meja-meja lain di sekelilingku. Ah, bagaimana bisa aku tidak memperhatikan orang-orang ini? Bodohnya!
***
Sudah jam 7 lewat 15 menit, tapi Des belum datang juga. Aku hampir kesal, aku sudah berkali-kali bertatap mata dengan orang-orang yang menangkapku sedang memperhatikan mereka, dan itu membuatku merasa seperti stalker yang ketahuan sedang menguntit korbannya. Seperti di drama-drama korea begitu, if you know what I mean.
Jam 7 lewat 20 menit, Des datang dengan mengagetkanku. Dia menepuk bahuku dengan tenaga yang sangat dalam kurasa, sampai-sampai bisa membuat wajahku hampir terjerembap ke dalam segelas cappucino float di depanku.
“Eh, maaf. Kena minuman lo nggak?,” Des bertanya dengan nada merasa bersalah tapi hanya setengah hati, karena aku tau ada senyum juga di dalam pertanyaannya, senyum yang menarik perhatianku. Bukan senyum sinis, tapi hanya senyum. Senyum Des.
“Nggak, kok. Nggak kena. Kenapa lo baru dateng? Dua puluh menit sendirian di sini rasanya seperti dua puluh tahun,” aku nyerocos sambil mengangkat kepalaku dan sedikit terkejut melihat Des sudah duduk di kursi sebrangku sambil tersenyum. Sekali lagi, senyum Des.
“Maaf ya, tadi anter nyokap dulu kondangan. Biasa, ibu-ibu. Hehe,” Des menjawabku dengan mantap dan tentu saja dengan senyum juga. Membuat aku percaya bahwa dia benar-benar mengantar ibunya. Eh, tapi kenapa juga aku musti tidak percaya, ya? Hahaha.
Aku hanya bergumam sambil menyeruput cappucino float-ku yang ice cream nya sudah mencair, saat Des tiba-tiba menyodorkan tangannya ke arahku sambil berkata, “Nama gue Des. Tepatnya, Desember.”
Aku setengah terkejut, lalu tersenyum kecil, “Gue Er. Tepatnya, Erina.”
Aku masih saja tersenyum lalu melanjutkan, “Nama lo beneran Desember?”
“Tentu aja beneran. Gue lahir di bulan Desember. Jadi, orang tua gue yang nggak ingin repot-repot cari nama akhirnya menamakan gue berdasarkan bulan lahir gue. As simple as that. Bahkan, kakak gue yang lahir di bulan Januari pun namanya Januari. Hahaha.” Des menjawabku sambil tertawa-tawa.
Dan malam itu, entah kenapa tertawanya terdengar lebih enak daripada cappucino float-ku. Ah, Desember.
***
Aku yang mudah jatuh cinta atau Des yang terlahir untuk mudah dicintai? Entahlah. Meski rasanya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa aku jatuh cinta pada Des, tapi sebuah rasa yang menyenangkan tak pernah habis menghampiriku selagi melihat tawa Des dengan teman-temannya di kursi paling depan.
Selama pertemuan yang ternyata tak menghasilkan pembicaraan yang bermutu kecuali perkenalan ngalor-ngidul yang tak penting malam itu, Des selalu mampir ke mejaku tiap kali dia datang ke kelasku. Hanya mampir, sekedar untuk mengacak-acak rambutku, mencubit pipiku, tiba-tiba saja menutup novel yang sedang kubaca, atau duduk di kursi depan mejaku sambil berbasa-basi minta diceritakan soal bagian novel yang sudah kubaca, lalu kembali lagi pada teman-temannya.
Karena itulah, seluruh kelas menggosipkan kami berpacaran. Tapi Des hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai gosip-gosip itu dengan senyum, aku pun begitu.
Sikap tenang Des itu menularkan ketenangan juga padaku. Meskipun kami tak pernah bicara banyak, sebab selain pertemuan yang hanya sebentar di jam isitrahat, Des tidak pernah lagi mengajakku keluar dan tidak pernah juga mengirimiku pesan digital. Tapi itu justru membuat waktuku yang singkat bersama Des menjadi terasa begitu berharga. Oh, Des. Desember.
***
Hari ini, hari pertama masuk ke kelas XI. Aku datang lebih pagi untuk mengincar kursi paling belakang. Aku senang bisa memerhatikan banyak orang dari kursi belakang tanpa disadari oleh mereka, meskipun terkadang ada saja orang yang terlalu peka sehingga pundaknya seolah tertusuk jarum-jarum kecil saat aku sedang memerhatikannya dan mereka mau tak mau menoleh ke arahku. Tapi bagiku sih tak begitu masalah, aku sudah siap membuang tatap ke segala arah untuk menghindari tatapan ala target-memergoki-stalker dari mereka. Hahaha.
Setelah aku menempati kursi paling belakang, kelas masih saja sepi. Baru ada aku dan dua murid lain, keduanya perempuan. Mereka tidak berasal dari kelas X yang sama denganku, tidak juga begitu populer untuk membuatku memerhatikannya sehingga aku tak begitu mengingat wajah apalagi nama mereka. Tapi karena saat ini kami ada di ruangan yang sama, aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak memerhatikan mereka lekat-lekat dari kursiku.
Kesunyian yang mereka ciptakan menarik perhatianku. Salah satu murid yang duduk di barisan tengah paling kanan sedang sibuk membaca lalu mencoret-coret bukunya dengan ekspresi marah, satu-satunya suara yang dia timbulkan hanyalah suara saat ia membolak-balik lembaran bukunya.
Yang satunya lagi duduk di paling kiri dan paling depan, tepat di sebrang meja guru. Ia sedang tertidur. Iya, tertidur. Dengan meja yang hanya berjarak 1 meter dari meja guru, ia tertidur. Bagaimana hari-harinya ke depan nanti, ya?
***
Selagi merasa sudah tidak ada lagi yang dapat menarik perhatianku dari kedua murid tak kukenal itu, aku membuka novelku, membacanya, begitu terlarut sampai-sampai aku merasa sangat terkejut saat mendengar suara tas menggebuk mejaku dan melihat seorang berwajah teduh duduk di sebelahku. Itu Des!
“Gue duduk di sini, boleh dong?,” Des bertanya sambil bergerak-gerak mencari posisi duduk ternyaman di kursi sebelahku. Aku mengangguk lalu meletakkan telunjuk kananku di bibir sambil menggumam, “Ssst!,” Aku sedang nyaman dengan keheningan ini dan tidak ingin Des merusaknya. Meskipun di hatiku rasanya ingin mendengar Des bicara lebih banyak sebab libur kenaikan kelas dua minggu kemarin membuatku tersiksa rindu yang begitu dalam, tapi aku tak ingin kelihatan terlalu tertarik pada kedatangannya. Jaim, gitu.
Des membalasku hanya dengan bergumam, ia meletakkan kepalanya di meja dengan menghadap ke arahku, berkedip-kedip memandangku sebentar, lalu terpejam. Tadinya, aku hanya sedikit deg-degan, namun deg-deganku semakin menjadi-jadi saat sudut mataku menangkap Des sedang terpejam di sampingku. Wajahnya yang teduh benar-benar enak dipandang.
Waktu masuk kelas kurang dari setengah jam lagi, langkah-langkah berisik mulai memenuhi kelas. Tapi telingaku yang dipenuhi keberisikan itu sama sekali tidak merusak fokusku yang terpaku pada Des. Sama sekali. Sampai seseorang menusuk-nusuk bahuku dengan jari-jarinya, “Er…” panggilnya.
Aku terkejut dan langsung menoleh. Itu Lily. Aku bisa merasakan wajahku memerah dan memanas karena malu, merasa tertangkap basah sedang memerhatikan Des dengan sangat fokus. “Gue tau pacar lu itu ganteng, tapi mending lu bangunin dia. Bentar lagi Pak Alam masuk,” Lily memperingatkan aku dengan sedikit berbisik. Sesaat, aku masih linglung, namun kemudian tersadar dan langsung menepuk bahu Des sekeras-kerasnya. Reflex.
Des -yang aku yakin merasa bahunya seperti tersengat karena pukulanku yang begitu keras- mau tak mau terbangun dan langsung duduk dengan tegap. Aku melihat pemandangan ini dengan gemas. Sangat gemas. Wajahnya yang terkejut dengan mata sipit -seperti orang-orang yang baru bangun tidur pada umumnya- masih tetap saja nampak teduh. Bagaimana aku melewati jam-jam ke depan dan hari-hari esok kalau pagi ini saja sudah begitu menyesakkan saking menyenangkannya? Aduh!
***
Jam istirahat.
Des tidak keluar kelas, dia melanjutkan tidurnya pagi tadi yang sempat terputus oleh dua mata pelajaran dengan guru-guru yang menyeramkan. Aku duduk membelakangi Des, menghadap ke arah Lily yang duduk di meja seberang kananku. “Kenapa?”, tanya Lily tanpa menoleh padaku, ia sedang membaca-baca pesan di ponselnya. “Jadi, sekarang udah tau apa yang bisa bikin lo fokus?,” lanjutnya.
Aku memasang wajah bingung sambil memiringkan kepalaku dan menatap Lily lekat-lekat. Aku tak mengerti kenapa Lily tiba-tiba membahas masalah fokusku, padahal aku saja tidak tau apa yang ingin aku bicarakan dengannya saat aku tiba-tiba menghadap ke arahnya tadi. Niatku hanya ingin membuang muka dari Des.
“Itu… Des.” Lily menjawab kebingunganku, lalu meninggalkanku keluar kelas tanpa bicara lagi. Aku berbalik ke arah Des, memandanginya sambil memikirkan kata-kata Lily. Kenapa juga di jam istirahat yang seharusnya menenangkan ini, Lily malah memberiku PR yang harus dipikirkan benar-benar.
Setelah beberapa saat memandangi Des, isi pikiranku buyar. Fokusku hanya jatuh pada Des dan keteduhan yang berasal dari wajahnya. Meskipun saat ini Des ada di sampingku, tapi aku malah rindu saat-saat Des datang ke kelasku, tertawa keras-keras dengan teman-temannya di kursi paling depan, menjahiliku, memergokiku yang sedang memandanginya sambil tetap tersenyum padaku, dan semuanya tentang Des di kelas X. Des. Des. Apa yang harus aku lakukan padamu dan kerinduan ini?
Kemudian, di antara fokusku pada Des saat ini dan kerinduanku pada Des saat lalu, Des membuka matanya pelan, aku buru-buru menoleh ke arah lain sambil melirik-lirik pada Des yang tersenyum. Des menarik lenganku dan menjadikannya bantal. Yang benar saja! Kepala Des ada di atas lenganku! Yang benar saja! Dadaku sesak menahan senang yang meletup-letup. Yang benar saja! Aku tak bisa tak tersenyum.
Aku menyerah pada Des, aku tersenyum dan berbisik ke telinganya, “Kepalamu berat, awas dong!” Kalian boleh mengataiku bodoh karena bicara begitu. Tapi aku benar-benar tak bisa waras menghadapi keromantisan Des. Yaaa… Adegan itu memang romantis, kan? Atau tidak?
Des tersenyum dan membalasku sambil berbisik juga, “Sebentaaar aja. Kepalaku yang berat ini sakit karena tidur nggak pake bantal…” Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku membiarkan Des terlelap di lenganku dan menyadari, barusan aku bicara aku-kamu-an sama Des? Ah! Yang benar saja! Aku tak bisa untuk tidak tersenyum lagi.
***
Istirahat pertama selesai. Suara lantang dari bel yang menjadi penutup istirahat pertama hari itu terdengar seperti alunan lagu cinta di telingaku, sama sekali tidak memecah fokusku dari Des sampai ada jari-jari yang menusuk-nusuk punggungku lagi seperti tadi pagi, jari-jari Lily.
“Sekalinya nggak fokus, bener-bener kacau. Sekalinya fokus, bener-bener nggak keganggu. Sampe suara bel yang bikin kuping hampir tuli aja nggak bikin lo berpaling dari si Des ini. ckck…” Lily mengoceh sambil duduk di pinggir mejanya dengan tatapan menghujam ke arahku.
Aku hanya bisa nyengir merespon ocehan Lily. “Bangunin buruan pacar lo!” Lily mengingatkanku. Aku pun reflex menarik lenganku yang dijadikan bantal oleh Des, kepala Des langsung membentur meja dengan cukup keras sampai-sampai menimbulkan bunyi yang membuat seisi kelas menoleh ke arah kami. Des terbangun sambil mengaduh, aku yang menyadari benturan kepala Des yang keras itu reflex mengusap-usap kepala Des dan membuat seisi kelas yang sedang menoleh ke arah kami bersorak kesal.
“YEEE GUE KIRA KETIBAN LEMARI!”
“Yailah cuma roman picisan aja nih.”
“Waduh! Berasa drama korea kali…”
“Pasangan baru dimabuk cinta, maklum.”
“Mau jadi Lee Min Ho sama Suzy wanna be kali ah!”
“Apanya yang berasa drama korea?” Ok, ini pertanyaan yang datang dari Pak Nufus yang entah sejak kapan bersandar di pintu kelas. Semua anak terdiam dan langsung duduk di tempat mereka masing-masing. Aku langsung melipat tanganku -yang tadinya sedang mengusap-usap kepala Des- di atas meja dan duduk dengan tegap menghadap ke papan tulis.
“Kenapa, Des?” Pak Nufus melempar pandangan ke arah Des. Tapi beruntung, tak ada nada marah di dalam pertanyaannya. Aku banyak mendengar rumor kalau Pak Nufus ini memang guru yang cukup santai dan sangat baik hati.
“Kejedot, Pak. Tapi udah baikan, kok. Udah diusap-usap sama pacar saya…” jawab Des santai sambil membenarkan duduknya ke arah Pak Nufus, tanpa melepaskan tangan dari kelapanya. Jawabannya membuatku merasa malu setengah mati. Sorakan anak-anak membuat rasa malu-ku menjadi berlipat-lipat. Kenapa anak ini tengil sekali sih!
“Kamu punya tangan ajaib, Er?” tanya Pak Nufus sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah tempat duduknya. Aku saat ini sudah dikuasai kesadaran, aku sadar Pak Nufus barusan menyebut nama Des dan juga namaku sebagai pacar Des. Tapi hari ini adalah hari pertama aku bertemu Pak Nufus, -sebelumnya sih hanya pernah sekedar berpapasan saja-. Kalau Des, aku tak tau. Tapi bisa jadi Des juga tidak mengenal Pak Nufus karena Pak Nufus tidak mengajar kelas X, beliau hanya mengajar di kelas XI dan XII. Aku pun… tanpa bisa terkendali, deg-degan dengan hebat. Pak Nufus kok tau nama kami? Pak Nufus juga tau aku pacar Des? Padahal pacaran saja belum! Des pasti hanya bercanda! Apakah gosip soal kami yang berpacaran sudah sampai ke ruang guru? Otteokeee?! (baca: bahasa korea, artinya “Gimanaaa?”)
Tanpa memedulikan kebingunganku, Pak Nufus memulai pelajaran pertama setelah istirahat pertama. Ya aku siapa juga harus dipedulikan Pak Nufus. Tapi gara-gara kepikiran soal Pak Nufus yang tau perihal aku dan Des, aku jadi tak bisa fokus selama pelajaran berlangsung, sedangkan Des yang tengil itu malah nampak segar dan enjoy menikmati pelajaran setelah melalui tidur nyenyak serta benturan keras di kepalanya yang membuat matanya mau tak mau terbuka lebar. Aku tak mungkin mencari fokus dengan memerhatikan Des, bukan Des yang saat ini harus aku perhatikan, tapi Pak Nufus. Ah! Aku kehilangan fokusku lagi.
***
Pelajaran kesenian dari Pak Nufus selesai. Aku akhirnya tau betapa menyenangkannya Pak Nufus meskipun aku memang tidak begitu fokus memperhatikannya tadi. Ada jeda beberapa menit sebelum pelajaran selanjutnya dimulai, aku mengambil kesempatan ini untuk bicara pada Des.
“Maaf ya, tadi reflex narik lenganku. Kepalamu nggak apa-apa, kan?” aku memulai obrolan dengan Des. Des menoleh kepadaku sambil tersenyum. Ya Tuhan! Tolong aku! Kenapa laki-laki ini manis sekali, sih!
“Nggak apa-apa. Kan kamu juga udah ngusap-ngusap kepalaku tadi. Jadi, sakitnya langsung hilang.” Des menatap lurus ke mataku sambil menopang kepalanya dengan satu tangan sehingga posisinya nyaman menengok ke arahku. Ya Tuhan! Tolong aku lagi! Aku pasti sudah benar-benar jatuh cinta pada laki-laki tengil ini!
Aku menelan ludah. Menahan senyum dengan susah payah. Tapi entah kenapa mataku tak mau berlari dari tatapan Des. Baru beberapa detik bertatapan dengan Des, hatiku serasa sudah dipanah cupid berjuta-juta kali, sesaknya tak mau hilang.
“Jadi pacarku, ya…” permintaan Des untuk sesaat membuat aku membeku, lalu usapan lembut Des pada rambutku mengembalikan fokusku. Aku langsung memutar tubuhku membelakangi Des dan bertemu tatap dengan Lily yang sedang melihat ke arah kami.
“Baru pacaran ternyata…” Lily menatapku heran. Aku langsung menarik tangan Lily dan membawanya berjalan cepat menuju toilet di samping kelas kami. Beruntung, belum ada guru yang masuk ke kelas.
Di dalam toilet, aku bernafas serakus mungkin. Berada di dekat Des membuat paru-paru, jantung, dan hatiku kesulitan menjalankan fungsinya. “Gue harus gimanaaa?” bentakku pada Lily.
“Loh, kok nanya gue?” Lily tampak cuek-cuek saja merespon nada panik dalam suaraku. “Lo diajak pacaran, tapi lo malah kabur. Dan malah ngajak gue ke toilet cuma buat diskusiin ginian.” Nada suara Lily mengandung sedikit kekesalan. “Mending, kita balik ke kelas. Lo duduk lagi di samping Des. Terus, bilang iya ke dia. Kelar urusan. Pacaran deh lo berdua.” Suara Lily kembali cuek.
“Segampang itukah?” tanyaku masih panik. “Iya!” jawab Lily tegas dan langsung berjalan keluar toilet menuju kembali ke kelas kami. Tapi saat Lily mencoba membuka pintu kelas, pintunya terkunci. Aku berjinjit dan mengintip ke dalam kelas melalui kaca di bagian atas pintu kelas, ada seorang guru yang tidak cukup familiar di mataku sedang berbicara di depan kelas. Lily juga tidak mengenali guru tersebut.
Lily berlari ke jendela di pojok kelas dan mengetuknya perlahan. Namun, jendela yang tertutup rapat oleh gorden tersebut tidak menyisakan ruang untuk kami mengintip ke dalam dan berbicara dengan teman sebangku Lily, si Wira. Beberapa saat setelah tragedi ketuk-ketuk jendela, Wira menyelipkan lipatan kertas ke sela-sela jendela. Lily langsung menariknya.
“Guru ini super killer. Kalo dia udah masuk kelas, pintu langsung dikunci. Makanya, nggak boleh telat. Openingnya aja udah serem dari tadi. Mending lo berdua makan di kantin. Udah dicatet nggak masuk tuh tadi pas absen. See you! Hahaha!” begitulah isi lipatan kertas dari Wira. Konyol sekali rasanya, hari pertama di kelas XI, kami langsung dapat guru killer dan tidak sempat masuk ke kelasnya pula. Kami sudah harus bersiap-siap untuk hukuman sepertinya.
Karena aku dan Lily adalah basis kursi belakang yang kalem dan adem, kita tidak punya nyali untuk bolos ke kantin. Sekali pun tidak boleh masuk kelas, setidaknya kita duduk diam saja menunggu di depan kelas sampai pelajaran selesai.
***
Dua jam berlalu, aku dan Lily berdiri berjajar di depan pintu kelas, menunggu Sang Guru Killer keluar. Saat guru tersebut keluar, aku dan Lily menunduk dan dengan kompak berkata, “Maaf, Bu. Kita telat…”, namun dengan angkuh si Ibu Guru tidak sama sekali menoleh pada kami dan berlalu begitu saja. Aku dan Lily saling bertatapan dengan bingung, “SECUEK ITUUU???”, Lily berbisik tapi teriak, takut kalau si Ibu Guru masih bisa mendengarnya karena ia belum berjalan terlalu jauh dari kami. Tau kan berbisik tapi teriak? Tau dong harusnya, ya!
Aku yang berniat menggaet kursi Lily untuk menghindari Des segera masuk ke kelas dan berhasil menggaet kursinya. Lily yang faham maksudku hanya menghela napas padaku lalu duduk di kursiku, di samping Des. Des tidak begitu peduli, dia tidak menengok padaku dan tidak juga bertanya pada Lily.
Ya sudah!
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Suara grasak-grusuk memenuhi seisi sekolah, semua anak seperti ingin buru-buru pulang. Bagiku, hari pertama di kelas XI ini terasa sangat panjang dan tak selesai-selesai. Melelahkan.
Aku keluar kelas bersama Lily, turun ke lantai dasar dan berpisah. Aku langsung menuju ke gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum, sedangkan Lily berjalan ke arah parkiran motor karena ia menggunakan motor ke sekolah. Aku belum berteguran dengan Des, tapi aku tau dia berjalan di belakangku dan Lily sedari tadi.
Sesaat setelah Lily berbelok ke parkiran motor, Des yang masih berjalan di belakangku berkata, “Er, tunggu depan gerbang ya, jangan ke mana-mana!”. Aku menengok ke belakang, tapi Des sudah berbalik jalan ke parkiran motor.
Wait, what? Tunggu? Aku dimintanya menunggu? Untuk apa? Kok aku senang? Kok aku deg-degan? Apakah menunggu Des akan menyenangkan?
***
Aku anak yang penurut, memang. Aku menunggu Des di depan gerbang sekolah, tidak ke mana-mana. Sampai sekitar 5 menit, Des dengan motor matic-nya berhenti di depanku. “Jadi pacarku, ya…” untuk ke dua kalinya, Des mengulang kalimat itu dengan tiba-tiba lagi. Tapi aku lagi-lagi membeku. Aku kaget. Tak bisa bicara sama sekali. Bagaimana aku harus menjawab Des dengan benar? “Iya” saja? Atau “Iya mau”? Atau “Iya aku mau jadi pacarmu”? Atau bagaimana? Aduh!
Tapi Des sepertinya faham kebingunganku, ia hanya tersenyum dengan manisnya. Dan itu malahan menambah sesak di dadaku.
“Ayok naik!” pinta Des. Aku, si penurut ini langsung naik ke motor Des.
“Aku mau anter kamu pulang, tapi aku cuma tau daerah rumahmu, belum tau persisnya di mana rumahmu. Kasih tau, ya!” pinta Des lagi. Aku dengan payah mengembalikan kesadaranku setelah linglung sesaat karena kalimat Des. Lalu aku menjawab Des dengan keisengan yang kususahpayahkan, “Kasih tau nggak, yaaa?” sambil tertawa pelan. Wajah Des yang bisa kulihat dari kaca spion menyunggingkan senyumnya sambil bilang, “Kasih tau dooong!”. Ok, aku yang penurut ini kemudian hanya mengangguk dan merasa senang sekali. Desember, you did melt my heart!
Des sangat menyenangkan sebagai teman bicara, suaranya merdu, nafasnya saja kusuka. Hehehe. Dia terus mendominasi obrolan kami selama perjalanan menuju rumahku. Aku tak bannyak bicara, melainkan hanya merespon secukupnya saja pada setiap kata yang Des ucapkan. Bukan karena aku tak suka bicara, tapi karena aku bernafas saja susah payah, apalagi bicara. Serius loh, aku betul-betul deg-degan!
Lalu kita sampai pada obrolan tentang Pak Nufus, guru menyenangkan yang tiba-tiba saja sudah tau namaku dan nama Des di hari pertama perkenalan kita ini. “Kamu tau, Pak Nufus itu tetanggaku. Makanya, dia tau namaku. Dia tetangga yang asik, seasik cara mengajarnya tadi. Dan keluargaku cukup akrab dengan keluarga Pak Nufus.”
“Oh begitu,…” gumamku. “Kok Pak Nufus tau namaku juga, ya? Kan aku nggak tetanggaan sama dia…” tanyaku kemudian.
“Hahaha. Ya nggak harus jadi tetangga juga dong untuk bisa tau namamu. Kita bukan tetangga, tapi aku tau namamu,” seluruh kalimat yang keluar dari mulut Des itu diiringi tawa yang enaaak sekali. Jadi begini rasanya bisa membuat orang yang kamu kagumi tertawa. Menyenangkan!
Des lalu melanjutkan kalimatnya, “Ini rahasia yaaa! Pak Nufus tau namamu dari aku. Aku sudah sering cerita tentangmu. Sebetulnya, aku ingin mengorek informasi tentang kamu dari Pak Nufus, tapi ternyata Pak Nufus tidak kenal kamu, jadi malah aku yang mengenalkan kamu ke dia.”
“Ceritain apa kamu ke Pak Nufus?” tanyaku.
“Cerita kalau aku suka sama siswi yang namanya Erina…” jawab Des dengan senyum genit yang bisa kulihat jelas dari kaca spion kiri motornya. Lalu, hening.
Aku terkejut dan lidahku menolak bicara. Wajahku memanas karena malu, jantungku deg-degan membunyikan irama seperti suara pintu yang sedang diketuk, padahal memang benar pintuku sedang di ketuk oleh Des. Iya pintuku, pintu hatiku.
Aku, si penurut ini tidak bisa untuk tidak mempersilahkannya masuk. Des, kamu harus tau, aku suka dengan kesopananmu yang tetap mengetuk dulu pintuku, meski aku sudah dari kapan-kapan membukakannya untukmu.
Dan selama sisa perjalanan kami, Des hanya diam. Sedangkan aku hanya bicara ketika mengarahkan ke mana Des harus melajukan motornya.
***
20 menit perjalanan kami terasa hanya seperti 2 detik. Hal-hal menyenangkan selalu terasa singkat dan kurang. Kita manusia yang sama kan? Tak pernah puas. Ah!
Des mengantarku tepat sampai gerbang depan rumahku. Dengan deg-degan yang masih tersisa banyak, aku turun dari motor Des sambil memegangi bahunya. Aku merasakan sekali bahu Des yang terkejut dan menjadi kaku ketika aku menyentuhnya. Tapi aku senang, Des juga deg-degan!
Des menengok padaku dan melepas helmnya. Tanpa intermezzo lagi, Des mengulangi kalimatnya seperti yang di sekolah tadi, “Untuk ketiga kalinya. Jadi pacarku, ya, Er…”
Kalimat itu tetap terdengar luar biasa meski sudah tiga kali kudengar seharian ini, ditambah namaku diujungnya membuat deg-deganku jadi tak habis-habis. Aku menatap wajah Des yang meneduhkan itu. Seperti terhipnotis, aku yang penurut ini akhirnya menggangguk kepada Des.
Untungnya, meski lidahku kaku, aku masih bisa mengangguk. Kalau tidak, Des mungkin akan mengulang kalimat luar biasa itu untuk keempat kalinya dan bisa-bisa bukan lidahku saja yang kaku tapi juga seluruh tubuhku. Untungnya, ya!
***
Thanks, Desember! Seorang siswa SMA yang menyita fokusku dan membuatku merasa bahwa kamu bukan sekedar Desember bagiku, tapi juga satu paket berisi 12 bulan yang semoga bisa selalu melengkapi tahun-tahunku. I heart you.
TAMAT.
Ditulis oleh Mahfira Intan di Tangerang, sejak 23 Desember 2017, jam 3 pagi dan selesai ditulis pada 10 Maret 2018, jam 9 malam
Entah apa yang mereka obrolkan, tapi di antara percakapan yang heboh itu, aku mendengar Yulis berkata sambil menampar bahu Des dengan bercanda tapi cukup bertenaga, “Elo kan Des yang waktu itu…,” Aku hanya mendengarnya sampai di situ saja, karena kemudian suara Yulis ditanggapi bertubi-tubi oleh yang lainnya dan obrolan itu menjadi heboh lagi.
Lagi pada nostalgia masa SMP, kayaknya…, begitulah isi pikiranku tanpa pernah menyadari bahwa itulah pertama kali aku tau nama Des.
***
Istirahat keesokan harinya, Des ke kelasku lagi. Dan terus begitu hampir setiap hari selama satu semester lewat, sampai-sampai dia pun mulai akrab dengan teman-teman kelasku yang lainnya. Tapi tidak dengan aku yang selalu lebih senang duduk berlama-lama di kursiku, di barisan paling belakang. Bahkan, teman semejaku, Lily pun butuh waktu lama untuk akrab denganku sebab sikapku yang selalu cepat hilang fokus dan beralih pada sesuatu yang menarik perhatianku dengan spontan. Saat Lily bicara, aku seringkali tiba-tiba malah sedang memperhatikan orang lain yang lebih berisik, lebih mencolok, lebih aktif, atau bahkan lebih diam. Aku tak mengerti kriteria hal-hal yang bisa menarik perhatianku, semua terjadi begitu saja.
Suatu waktu, aku pernah bertukar tatap selama sekejap dengan Des saat aku sedang memerhatikannya, sedangkan Des sedang tak sengaja mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Kenapa sekejap? Karena sekali pun aku sering tak sadar saat sedang memperhatikan orang-orang, tapi ketika ketahuan kemudian diperhatikan balik maka aku akan langsung sadar dan membuang tatap ke arah lain. Senang diperhatikan, tapi takut jadi pusat perhatian. Gitu, deh.
Oh iya, Des ini laki-laki. Cukup tinggi kalau mengingat aku yang hanya 149,5 cm, sedangkan Des mungkin sekitar 170 sampai 175 cm. Kulitnya bersih -tapi tidak terlalu putih dan tidak terlalu coklat dan bukan juga kuning langsat-, matanya agak sipit, hidungnya tidak mancung-mancung amat, bibirnya tipis dan entah kenapa perpaduan dari semua itu kemudian memberikan kesan teduh pada wajah Des setiap kali aku melihatnya. Entah kenapa.
***
Di suatu hari saat kelas X semester genap, seperti biasa Des ke kelasku. Tapi dia tidak menuju sekumpulan teman SMP-nya, melainkan berjalan ke arahku dan berhenti di mejaku.
“Eh…,” sapa Des. Aku faham, dia mungkin tak tau namaku.
“Iya,” jawabku secukupnya. Aku tak begitu tertarik memulai obrolan dengannya karena aku tidak dalam kepentingan untuk bicara dengannya.
“Bisa ngobrol bentar nggak?,” tanyanya padaku. Aku tak tau bagaimana ekspresinya, karena aku tak mendongakkan kepalaku ke wajahnya, melainkan tetap memperhatikan huruf-huruf di dalam novel yang selalu kubawa ke mana-mana -dengan maksud agar bisa selalu membacanya untuk membantu melatih fokusku, meskipun tidak ada pengaruhnya juga, sih-.
“Kok, tiba-tiba ngajak ngobrol?,” aku balik bertanya dengan santai, masih tanpa mendongak.
“Habis, gue liat lo tiap hari ngeliatin gue dan temen-temen gue terus, dengan tampang yang nggak enak lagi. Kita berisik banget, ya? Kita bikin lo keganggu?,” pertanyaan Des seketika membuatku merasa bersalah. Aku sama sekali tidak terganggu, aku senang ada keramaian. Tapi aku tidak bisa melepaskan kebiasaanku memperhatikan orang. Kalau soal tampang yang tidak enak, aku pun tak tau. Yang aku sadari, saat sedang serius memperhatikan orang, aku memang tidak tersenyum, tapi apa iya tampangku tidak enak? Kalau aku tau, aku tidak akan sengaja begitu. Tapi ya memang sih, bisa jadi benar tampangku tidak enak seperti yang Des katakan. Hm.
Aku diam untuk dua detik yang terasa seperti dua jam sebelum merespon Des. Aku memilih kata yang pas untuk menjawab Des karena tak mungkin menjelaskan kebiasaanku dengan panjang lebar, aku tidak dalam posisi yang harus menjelaskan itu, bukan? Ini hanya soal tampangku yang tidak enak saat memperhatikan mereka. Ya setidaknya, kupikir begitu. Dan lalu keluarlah jawaban untuk Des dari mulutku yang aku sendiri kaget mendengarnya, “Maaf…”
What? Maaf, kataku?
“Kok, maaf?,” tanya Des sambil duduk di kursi pada barisan di depanku dengan tetap menghadap ke arahku.
“Nggak bermaksud nunjukkin kalo gue terganggu. Lain kali, gue nggak liatin lagi…,” aku menjawab sambil menciut. Tinggiku yang tadinya 149,5 cm rasa-rasanya langsung terpangkas menjadi 30 cm, sama panjangnya dengan penggaris besi yang selalu dibawa-bawa guru piket untuk memukul punggung tangan anak-anak yang kukunya panjang-panjang dan diberi warna aneh-aneh.
“Kok lo lucu, sih?,” Des tersenyum. Iya, aku tau dia tersenyum karena aku mendongak tepat setelah aku bilang aku tak akan ngelihatin dia dan teman-temannya lagi.
Des berdiri dan kembali ke teman-temannya di kursi depan masih dengan tersenyum. Lalu aku sadar bahwa ada yang menarik perhatianku. Senyumnya! Senyum Des.
***
Aku menunduk, berusaha mensugesti telingaku agar jadi tuli sesaat hanya supaya tidak mendengar pembicaraan Des dan teman-temannya sehinga tidak kembali tertarik. Kubaca novelku dengan teriakan di dalam hati, namun nyatanya kehebohan mereka menandingi suara berisik dari hatiku sendiri. Ah! Aku kan sudah bilang tidak akan ngelihatin mereka lagi.
Akhirnya, aku malah benaran terganggu. Aku pun keluar dari kelas dengan membawa novelku dan berniat membacanya di kursi panjang di luar kelas. Tapi sayang sekali, suasana di luar kelas yang jauh lebih ramai malah makin membuatku lupa dengan niatku dan makin tak bisa menahan diriku untuk terus memperhatikan orang-orang. Ah sial, ini kebiasaan atau kutukan?
***
Setiba di rumah, aku mengecek ponselku. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kusimpan. Aku membukanya, isinya, “Sorry ya, rasanya lo sangat keganggu sampe harus keluar kelas tadi.”
Itu Des. Pasti Des! Nama yang mudah kuingat, tapi kok sekarang malah terasa aneh. Dia laki-laki, tapi dipanggil Des. Apakah namanya Desi? Atau Desinta? Atau Deswita? Atau Desir pasir di padang tandus? Hahaha.
Ah! Aku malah melamunkan tebak-tebakan bodoh.
Beberapa saat setelah membukanya, aku baru merasa punya kata yang tepat untuk membalasnya. “Gue nggak keganggu kok, lagi ingin di luar aja tadi.”
Iya, balasan yang sangat bodoh itu ternyata perlu aku pikirkan dulu dengan otakku yang hanya sesendok teh ini.
“Besok kan hari minggu, ketemu yuk! Di Café Nongkrong ya, jam 7 malem. Kita bicara langsung biar lebih enak,” tau-tau saja Des membalas begitu. Dan tau tau saja aku menurutinya dengan membalas, “Ok.” Dan tau-tau saja aku sudah ada di café ini. Menunggu Des datang. Di antara kerumunan ramai orang di meja-meja lain di sekelilingku. Ah, bagaimana bisa aku tidak memperhatikan orang-orang ini? Bodohnya!
***
Sudah jam 7 lewat 15 menit, tapi Des belum datang juga. Aku hampir kesal, aku sudah berkali-kali bertatap mata dengan orang-orang yang menangkapku sedang memperhatikan mereka, dan itu membuatku merasa seperti stalker yang ketahuan sedang menguntit korbannya. Seperti di drama-drama korea begitu, if you know what I mean.
Jam 7 lewat 20 menit, Des datang dengan mengagetkanku. Dia menepuk bahuku dengan tenaga yang sangat dalam kurasa, sampai-sampai bisa membuat wajahku hampir terjerembap ke dalam segelas cappucino float di depanku.
“Eh, maaf. Kena minuman lo nggak?,” Des bertanya dengan nada merasa bersalah tapi hanya setengah hati, karena aku tau ada senyum juga di dalam pertanyaannya, senyum yang menarik perhatianku. Bukan senyum sinis, tapi hanya senyum. Senyum Des.
“Nggak, kok. Nggak kena. Kenapa lo baru dateng? Dua puluh menit sendirian di sini rasanya seperti dua puluh tahun,” aku nyerocos sambil mengangkat kepalaku dan sedikit terkejut melihat Des sudah duduk di kursi sebrangku sambil tersenyum. Sekali lagi, senyum Des.
“Maaf ya, tadi anter nyokap dulu kondangan. Biasa, ibu-ibu. Hehe,” Des menjawabku dengan mantap dan tentu saja dengan senyum juga. Membuat aku percaya bahwa dia benar-benar mengantar ibunya. Eh, tapi kenapa juga aku musti tidak percaya, ya? Hahaha.
Aku hanya bergumam sambil menyeruput cappucino float-ku yang ice cream nya sudah mencair, saat Des tiba-tiba menyodorkan tangannya ke arahku sambil berkata, “Nama gue Des. Tepatnya, Desember.”
Aku setengah terkejut, lalu tersenyum kecil, “Gue Er. Tepatnya, Erina.”
Aku masih saja tersenyum lalu melanjutkan, “Nama lo beneran Desember?”
“Tentu aja beneran. Gue lahir di bulan Desember. Jadi, orang tua gue yang nggak ingin repot-repot cari nama akhirnya menamakan gue berdasarkan bulan lahir gue. As simple as that. Bahkan, kakak gue yang lahir di bulan Januari pun namanya Januari. Hahaha.” Des menjawabku sambil tertawa-tawa.
Dan malam itu, entah kenapa tertawanya terdengar lebih enak daripada cappucino float-ku. Ah, Desember.
***
Aku yang mudah jatuh cinta atau Des yang terlahir untuk mudah dicintai? Entahlah. Meski rasanya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa aku jatuh cinta pada Des, tapi sebuah rasa yang menyenangkan tak pernah habis menghampiriku selagi melihat tawa Des dengan teman-temannya di kursi paling depan.
Selama pertemuan yang ternyata tak menghasilkan pembicaraan yang bermutu kecuali perkenalan ngalor-ngidul yang tak penting malam itu, Des selalu mampir ke mejaku tiap kali dia datang ke kelasku. Hanya mampir, sekedar untuk mengacak-acak rambutku, mencubit pipiku, tiba-tiba saja menutup novel yang sedang kubaca, atau duduk di kursi depan mejaku sambil berbasa-basi minta diceritakan soal bagian novel yang sudah kubaca, lalu kembali lagi pada teman-temannya.
Karena itulah, seluruh kelas menggosipkan kami berpacaran. Tapi Des hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai gosip-gosip itu dengan senyum, aku pun begitu.
Sikap tenang Des itu menularkan ketenangan juga padaku. Meskipun kami tak pernah bicara banyak, sebab selain pertemuan yang hanya sebentar di jam isitrahat, Des tidak pernah lagi mengajakku keluar dan tidak pernah juga mengirimiku pesan digital. Tapi itu justru membuat waktuku yang singkat bersama Des menjadi terasa begitu berharga. Oh, Des. Desember.
***
Hari ini, hari pertama masuk ke kelas XI. Aku datang lebih pagi untuk mengincar kursi paling belakang. Aku senang bisa memerhatikan banyak orang dari kursi belakang tanpa disadari oleh mereka, meskipun terkadang ada saja orang yang terlalu peka sehingga pundaknya seolah tertusuk jarum-jarum kecil saat aku sedang memerhatikannya dan mereka mau tak mau menoleh ke arahku. Tapi bagiku sih tak begitu masalah, aku sudah siap membuang tatap ke segala arah untuk menghindari tatapan ala target-memergoki-stalker dari mereka. Hahaha.
Setelah aku menempati kursi paling belakang, kelas masih saja sepi. Baru ada aku dan dua murid lain, keduanya perempuan. Mereka tidak berasal dari kelas X yang sama denganku, tidak juga begitu populer untuk membuatku memerhatikannya sehingga aku tak begitu mengingat wajah apalagi nama mereka. Tapi karena saat ini kami ada di ruangan yang sama, aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak memerhatikan mereka lekat-lekat dari kursiku.
Kesunyian yang mereka ciptakan menarik perhatianku. Salah satu murid yang duduk di barisan tengah paling kanan sedang sibuk membaca lalu mencoret-coret bukunya dengan ekspresi marah, satu-satunya suara yang dia timbulkan hanyalah suara saat ia membolak-balik lembaran bukunya.
Yang satunya lagi duduk di paling kiri dan paling depan, tepat di sebrang meja guru. Ia sedang tertidur. Iya, tertidur. Dengan meja yang hanya berjarak 1 meter dari meja guru, ia tertidur. Bagaimana hari-harinya ke depan nanti, ya?
***
Selagi merasa sudah tidak ada lagi yang dapat menarik perhatianku dari kedua murid tak kukenal itu, aku membuka novelku, membacanya, begitu terlarut sampai-sampai aku merasa sangat terkejut saat mendengar suara tas menggebuk mejaku dan melihat seorang berwajah teduh duduk di sebelahku. Itu Des!
“Gue duduk di sini, boleh dong?,” Des bertanya sambil bergerak-gerak mencari posisi duduk ternyaman di kursi sebelahku. Aku mengangguk lalu meletakkan telunjuk kananku di bibir sambil menggumam, “Ssst!,” Aku sedang nyaman dengan keheningan ini dan tidak ingin Des merusaknya. Meskipun di hatiku rasanya ingin mendengar Des bicara lebih banyak sebab libur kenaikan kelas dua minggu kemarin membuatku tersiksa rindu yang begitu dalam, tapi aku tak ingin kelihatan terlalu tertarik pada kedatangannya. Jaim, gitu.
Des membalasku hanya dengan bergumam, ia meletakkan kepalanya di meja dengan menghadap ke arahku, berkedip-kedip memandangku sebentar, lalu terpejam. Tadinya, aku hanya sedikit deg-degan, namun deg-deganku semakin menjadi-jadi saat sudut mataku menangkap Des sedang terpejam di sampingku. Wajahnya yang teduh benar-benar enak dipandang.
Waktu masuk kelas kurang dari setengah jam lagi, langkah-langkah berisik mulai memenuhi kelas. Tapi telingaku yang dipenuhi keberisikan itu sama sekali tidak merusak fokusku yang terpaku pada Des. Sama sekali. Sampai seseorang menusuk-nusuk bahuku dengan jari-jarinya, “Er…” panggilnya.
Aku terkejut dan langsung menoleh. Itu Lily. Aku bisa merasakan wajahku memerah dan memanas karena malu, merasa tertangkap basah sedang memerhatikan Des dengan sangat fokus. “Gue tau pacar lu itu ganteng, tapi mending lu bangunin dia. Bentar lagi Pak Alam masuk,” Lily memperingatkan aku dengan sedikit berbisik. Sesaat, aku masih linglung, namun kemudian tersadar dan langsung menepuk bahu Des sekeras-kerasnya. Reflex.
Des -yang aku yakin merasa bahunya seperti tersengat karena pukulanku yang begitu keras- mau tak mau terbangun dan langsung duduk dengan tegap. Aku melihat pemandangan ini dengan gemas. Sangat gemas. Wajahnya yang terkejut dengan mata sipit -seperti orang-orang yang baru bangun tidur pada umumnya- masih tetap saja nampak teduh. Bagaimana aku melewati jam-jam ke depan dan hari-hari esok kalau pagi ini saja sudah begitu menyesakkan saking menyenangkannya? Aduh!
***
Jam istirahat.
Des tidak keluar kelas, dia melanjutkan tidurnya pagi tadi yang sempat terputus oleh dua mata pelajaran dengan guru-guru yang menyeramkan. Aku duduk membelakangi Des, menghadap ke arah Lily yang duduk di meja seberang kananku. “Kenapa?”, tanya Lily tanpa menoleh padaku, ia sedang membaca-baca pesan di ponselnya. “Jadi, sekarang udah tau apa yang bisa bikin lo fokus?,” lanjutnya.
Aku memasang wajah bingung sambil memiringkan kepalaku dan menatap Lily lekat-lekat. Aku tak mengerti kenapa Lily tiba-tiba membahas masalah fokusku, padahal aku saja tidak tau apa yang ingin aku bicarakan dengannya saat aku tiba-tiba menghadap ke arahnya tadi. Niatku hanya ingin membuang muka dari Des.
“Itu… Des.” Lily menjawab kebingunganku, lalu meninggalkanku keluar kelas tanpa bicara lagi. Aku berbalik ke arah Des, memandanginya sambil memikirkan kata-kata Lily. Kenapa juga di jam istirahat yang seharusnya menenangkan ini, Lily malah memberiku PR yang harus dipikirkan benar-benar.
Setelah beberapa saat memandangi Des, isi pikiranku buyar. Fokusku hanya jatuh pada Des dan keteduhan yang berasal dari wajahnya. Meskipun saat ini Des ada di sampingku, tapi aku malah rindu saat-saat Des datang ke kelasku, tertawa keras-keras dengan teman-temannya di kursi paling depan, menjahiliku, memergokiku yang sedang memandanginya sambil tetap tersenyum padaku, dan semuanya tentang Des di kelas X. Des. Des. Apa yang harus aku lakukan padamu dan kerinduan ini?
Kemudian, di antara fokusku pada Des saat ini dan kerinduanku pada Des saat lalu, Des membuka matanya pelan, aku buru-buru menoleh ke arah lain sambil melirik-lirik pada Des yang tersenyum. Des menarik lenganku dan menjadikannya bantal. Yang benar saja! Kepala Des ada di atas lenganku! Yang benar saja! Dadaku sesak menahan senang yang meletup-letup. Yang benar saja! Aku tak bisa tak tersenyum.
Aku menyerah pada Des, aku tersenyum dan berbisik ke telinganya, “Kepalamu berat, awas dong!” Kalian boleh mengataiku bodoh karena bicara begitu. Tapi aku benar-benar tak bisa waras menghadapi keromantisan Des. Yaaa… Adegan itu memang romantis, kan? Atau tidak?
Des tersenyum dan membalasku sambil berbisik juga, “Sebentaaar aja. Kepalaku yang berat ini sakit karena tidur nggak pake bantal…” Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku membiarkan Des terlelap di lenganku dan menyadari, barusan aku bicara aku-kamu-an sama Des? Ah! Yang benar saja! Aku tak bisa untuk tidak tersenyum lagi.
***
Istirahat pertama selesai. Suara lantang dari bel yang menjadi penutup istirahat pertama hari itu terdengar seperti alunan lagu cinta di telingaku, sama sekali tidak memecah fokusku dari Des sampai ada jari-jari yang menusuk-nusuk punggungku lagi seperti tadi pagi, jari-jari Lily.
“Sekalinya nggak fokus, bener-bener kacau. Sekalinya fokus, bener-bener nggak keganggu. Sampe suara bel yang bikin kuping hampir tuli aja nggak bikin lo berpaling dari si Des ini. ckck…” Lily mengoceh sambil duduk di pinggir mejanya dengan tatapan menghujam ke arahku.
Aku hanya bisa nyengir merespon ocehan Lily. “Bangunin buruan pacar lo!” Lily mengingatkanku. Aku pun reflex menarik lenganku yang dijadikan bantal oleh Des, kepala Des langsung membentur meja dengan cukup keras sampai-sampai menimbulkan bunyi yang membuat seisi kelas menoleh ke arah kami. Des terbangun sambil mengaduh, aku yang menyadari benturan kepala Des yang keras itu reflex mengusap-usap kepala Des dan membuat seisi kelas yang sedang menoleh ke arah kami bersorak kesal.
“YEEE GUE KIRA KETIBAN LEMARI!”
“Yailah cuma roman picisan aja nih.”
“Waduh! Berasa drama korea kali…”
“Pasangan baru dimabuk cinta, maklum.”
“Mau jadi Lee Min Ho sama Suzy wanna be kali ah!”
“Apanya yang berasa drama korea?” Ok, ini pertanyaan yang datang dari Pak Nufus yang entah sejak kapan bersandar di pintu kelas. Semua anak terdiam dan langsung duduk di tempat mereka masing-masing. Aku langsung melipat tanganku -yang tadinya sedang mengusap-usap kepala Des- di atas meja dan duduk dengan tegap menghadap ke papan tulis.
“Kenapa, Des?” Pak Nufus melempar pandangan ke arah Des. Tapi beruntung, tak ada nada marah di dalam pertanyaannya. Aku banyak mendengar rumor kalau Pak Nufus ini memang guru yang cukup santai dan sangat baik hati.
“Kejedot, Pak. Tapi udah baikan, kok. Udah diusap-usap sama pacar saya…” jawab Des santai sambil membenarkan duduknya ke arah Pak Nufus, tanpa melepaskan tangan dari kelapanya. Jawabannya membuatku merasa malu setengah mati. Sorakan anak-anak membuat rasa malu-ku menjadi berlipat-lipat. Kenapa anak ini tengil sekali sih!
“Kamu punya tangan ajaib, Er?” tanya Pak Nufus sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah tempat duduknya. Aku saat ini sudah dikuasai kesadaran, aku sadar Pak Nufus barusan menyebut nama Des dan juga namaku sebagai pacar Des. Tapi hari ini adalah hari pertama aku bertemu Pak Nufus, -sebelumnya sih hanya pernah sekedar berpapasan saja-. Kalau Des, aku tak tau. Tapi bisa jadi Des juga tidak mengenal Pak Nufus karena Pak Nufus tidak mengajar kelas X, beliau hanya mengajar di kelas XI dan XII. Aku pun… tanpa bisa terkendali, deg-degan dengan hebat. Pak Nufus kok tau nama kami? Pak Nufus juga tau aku pacar Des? Padahal pacaran saja belum! Des pasti hanya bercanda! Apakah gosip soal kami yang berpacaran sudah sampai ke ruang guru? Otteokeee?! (baca: bahasa korea, artinya “Gimanaaa?”)
Tanpa memedulikan kebingunganku, Pak Nufus memulai pelajaran pertama setelah istirahat pertama. Ya aku siapa juga harus dipedulikan Pak Nufus. Tapi gara-gara kepikiran soal Pak Nufus yang tau perihal aku dan Des, aku jadi tak bisa fokus selama pelajaran berlangsung, sedangkan Des yang tengil itu malah nampak segar dan enjoy menikmati pelajaran setelah melalui tidur nyenyak serta benturan keras di kepalanya yang membuat matanya mau tak mau terbuka lebar. Aku tak mungkin mencari fokus dengan memerhatikan Des, bukan Des yang saat ini harus aku perhatikan, tapi Pak Nufus. Ah! Aku kehilangan fokusku lagi.
***
Pelajaran kesenian dari Pak Nufus selesai. Aku akhirnya tau betapa menyenangkannya Pak Nufus meskipun aku memang tidak begitu fokus memperhatikannya tadi. Ada jeda beberapa menit sebelum pelajaran selanjutnya dimulai, aku mengambil kesempatan ini untuk bicara pada Des.
“Maaf ya, tadi reflex narik lenganku. Kepalamu nggak apa-apa, kan?” aku memulai obrolan dengan Des. Des menoleh kepadaku sambil tersenyum. Ya Tuhan! Tolong aku! Kenapa laki-laki ini manis sekali, sih!
“Nggak apa-apa. Kan kamu juga udah ngusap-ngusap kepalaku tadi. Jadi, sakitnya langsung hilang.” Des menatap lurus ke mataku sambil menopang kepalanya dengan satu tangan sehingga posisinya nyaman menengok ke arahku. Ya Tuhan! Tolong aku lagi! Aku pasti sudah benar-benar jatuh cinta pada laki-laki tengil ini!
Aku menelan ludah. Menahan senyum dengan susah payah. Tapi entah kenapa mataku tak mau berlari dari tatapan Des. Baru beberapa detik bertatapan dengan Des, hatiku serasa sudah dipanah cupid berjuta-juta kali, sesaknya tak mau hilang.
“Jadi pacarku, ya…” permintaan Des untuk sesaat membuat aku membeku, lalu usapan lembut Des pada rambutku mengembalikan fokusku. Aku langsung memutar tubuhku membelakangi Des dan bertemu tatap dengan Lily yang sedang melihat ke arah kami.
“Baru pacaran ternyata…” Lily menatapku heran. Aku langsung menarik tangan Lily dan membawanya berjalan cepat menuju toilet di samping kelas kami. Beruntung, belum ada guru yang masuk ke kelas.
Di dalam toilet, aku bernafas serakus mungkin. Berada di dekat Des membuat paru-paru, jantung, dan hatiku kesulitan menjalankan fungsinya. “Gue harus gimanaaa?” bentakku pada Lily.
“Loh, kok nanya gue?” Lily tampak cuek-cuek saja merespon nada panik dalam suaraku. “Lo diajak pacaran, tapi lo malah kabur. Dan malah ngajak gue ke toilet cuma buat diskusiin ginian.” Nada suara Lily mengandung sedikit kekesalan. “Mending, kita balik ke kelas. Lo duduk lagi di samping Des. Terus, bilang iya ke dia. Kelar urusan. Pacaran deh lo berdua.” Suara Lily kembali cuek.
“Segampang itukah?” tanyaku masih panik. “Iya!” jawab Lily tegas dan langsung berjalan keluar toilet menuju kembali ke kelas kami. Tapi saat Lily mencoba membuka pintu kelas, pintunya terkunci. Aku berjinjit dan mengintip ke dalam kelas melalui kaca di bagian atas pintu kelas, ada seorang guru yang tidak cukup familiar di mataku sedang berbicara di depan kelas. Lily juga tidak mengenali guru tersebut.
Lily berlari ke jendela di pojok kelas dan mengetuknya perlahan. Namun, jendela yang tertutup rapat oleh gorden tersebut tidak menyisakan ruang untuk kami mengintip ke dalam dan berbicara dengan teman sebangku Lily, si Wira. Beberapa saat setelah tragedi ketuk-ketuk jendela, Wira menyelipkan lipatan kertas ke sela-sela jendela. Lily langsung menariknya.
“Guru ini super killer. Kalo dia udah masuk kelas, pintu langsung dikunci. Makanya, nggak boleh telat. Openingnya aja udah serem dari tadi. Mending lo berdua makan di kantin. Udah dicatet nggak masuk tuh tadi pas absen. See you! Hahaha!” begitulah isi lipatan kertas dari Wira. Konyol sekali rasanya, hari pertama di kelas XI, kami langsung dapat guru killer dan tidak sempat masuk ke kelasnya pula. Kami sudah harus bersiap-siap untuk hukuman sepertinya.
Karena aku dan Lily adalah basis kursi belakang yang kalem dan adem, kita tidak punya nyali untuk bolos ke kantin. Sekali pun tidak boleh masuk kelas, setidaknya kita duduk diam saja menunggu di depan kelas sampai pelajaran selesai.
***
Dua jam berlalu, aku dan Lily berdiri berjajar di depan pintu kelas, menunggu Sang Guru Killer keluar. Saat guru tersebut keluar, aku dan Lily menunduk dan dengan kompak berkata, “Maaf, Bu. Kita telat…”, namun dengan angkuh si Ibu Guru tidak sama sekali menoleh pada kami dan berlalu begitu saja. Aku dan Lily saling bertatapan dengan bingung, “SECUEK ITUUU???”, Lily berbisik tapi teriak, takut kalau si Ibu Guru masih bisa mendengarnya karena ia belum berjalan terlalu jauh dari kami. Tau kan berbisik tapi teriak? Tau dong harusnya, ya!
Aku yang berniat menggaet kursi Lily untuk menghindari Des segera masuk ke kelas dan berhasil menggaet kursinya. Lily yang faham maksudku hanya menghela napas padaku lalu duduk di kursiku, di samping Des. Des tidak begitu peduli, dia tidak menengok padaku dan tidak juga bertanya pada Lily.
Ya sudah!
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Suara grasak-grusuk memenuhi seisi sekolah, semua anak seperti ingin buru-buru pulang. Bagiku, hari pertama di kelas XI ini terasa sangat panjang dan tak selesai-selesai. Melelahkan.
Aku keluar kelas bersama Lily, turun ke lantai dasar dan berpisah. Aku langsung menuju ke gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum, sedangkan Lily berjalan ke arah parkiran motor karena ia menggunakan motor ke sekolah. Aku belum berteguran dengan Des, tapi aku tau dia berjalan di belakangku dan Lily sedari tadi.
Sesaat setelah Lily berbelok ke parkiran motor, Des yang masih berjalan di belakangku berkata, “Er, tunggu depan gerbang ya, jangan ke mana-mana!”. Aku menengok ke belakang, tapi Des sudah berbalik jalan ke parkiran motor.
Wait, what? Tunggu? Aku dimintanya menunggu? Untuk apa? Kok aku senang? Kok aku deg-degan? Apakah menunggu Des akan menyenangkan?
***
Aku anak yang penurut, memang. Aku menunggu Des di depan gerbang sekolah, tidak ke mana-mana. Sampai sekitar 5 menit, Des dengan motor matic-nya berhenti di depanku. “Jadi pacarku, ya…” untuk ke dua kalinya, Des mengulang kalimat itu dengan tiba-tiba lagi. Tapi aku lagi-lagi membeku. Aku kaget. Tak bisa bicara sama sekali. Bagaimana aku harus menjawab Des dengan benar? “Iya” saja? Atau “Iya mau”? Atau “Iya aku mau jadi pacarmu”? Atau bagaimana? Aduh!
Tapi Des sepertinya faham kebingunganku, ia hanya tersenyum dengan manisnya. Dan itu malahan menambah sesak di dadaku.
“Ayok naik!” pinta Des. Aku, si penurut ini langsung naik ke motor Des.
“Aku mau anter kamu pulang, tapi aku cuma tau daerah rumahmu, belum tau persisnya di mana rumahmu. Kasih tau, ya!” pinta Des lagi. Aku dengan payah mengembalikan kesadaranku setelah linglung sesaat karena kalimat Des. Lalu aku menjawab Des dengan keisengan yang kususahpayahkan, “Kasih tau nggak, yaaa?” sambil tertawa pelan. Wajah Des yang bisa kulihat dari kaca spion menyunggingkan senyumnya sambil bilang, “Kasih tau dooong!”. Ok, aku yang penurut ini kemudian hanya mengangguk dan merasa senang sekali. Desember, you did melt my heart!
Des sangat menyenangkan sebagai teman bicara, suaranya merdu, nafasnya saja kusuka. Hehehe. Dia terus mendominasi obrolan kami selama perjalanan menuju rumahku. Aku tak bannyak bicara, melainkan hanya merespon secukupnya saja pada setiap kata yang Des ucapkan. Bukan karena aku tak suka bicara, tapi karena aku bernafas saja susah payah, apalagi bicara. Serius loh, aku betul-betul deg-degan!
Lalu kita sampai pada obrolan tentang Pak Nufus, guru menyenangkan yang tiba-tiba saja sudah tau namaku dan nama Des di hari pertama perkenalan kita ini. “Kamu tau, Pak Nufus itu tetanggaku. Makanya, dia tau namaku. Dia tetangga yang asik, seasik cara mengajarnya tadi. Dan keluargaku cukup akrab dengan keluarga Pak Nufus.”
“Oh begitu,…” gumamku. “Kok Pak Nufus tau namaku juga, ya? Kan aku nggak tetanggaan sama dia…” tanyaku kemudian.
“Hahaha. Ya nggak harus jadi tetangga juga dong untuk bisa tau namamu. Kita bukan tetangga, tapi aku tau namamu,” seluruh kalimat yang keluar dari mulut Des itu diiringi tawa yang enaaak sekali. Jadi begini rasanya bisa membuat orang yang kamu kagumi tertawa. Menyenangkan!
Des lalu melanjutkan kalimatnya, “Ini rahasia yaaa! Pak Nufus tau namamu dari aku. Aku sudah sering cerita tentangmu. Sebetulnya, aku ingin mengorek informasi tentang kamu dari Pak Nufus, tapi ternyata Pak Nufus tidak kenal kamu, jadi malah aku yang mengenalkan kamu ke dia.”
“Ceritain apa kamu ke Pak Nufus?” tanyaku.
“Cerita kalau aku suka sama siswi yang namanya Erina…” jawab Des dengan senyum genit yang bisa kulihat jelas dari kaca spion kiri motornya. Lalu, hening.
Aku terkejut dan lidahku menolak bicara. Wajahku memanas karena malu, jantungku deg-degan membunyikan irama seperti suara pintu yang sedang diketuk, padahal memang benar pintuku sedang di ketuk oleh Des. Iya pintuku, pintu hatiku.
Aku, si penurut ini tidak bisa untuk tidak mempersilahkannya masuk. Des, kamu harus tau, aku suka dengan kesopananmu yang tetap mengetuk dulu pintuku, meski aku sudah dari kapan-kapan membukakannya untukmu.
Dan selama sisa perjalanan kami, Des hanya diam. Sedangkan aku hanya bicara ketika mengarahkan ke mana Des harus melajukan motornya.
***
20 menit perjalanan kami terasa hanya seperti 2 detik. Hal-hal menyenangkan selalu terasa singkat dan kurang. Kita manusia yang sama kan? Tak pernah puas. Ah!
Des mengantarku tepat sampai gerbang depan rumahku. Dengan deg-degan yang masih tersisa banyak, aku turun dari motor Des sambil memegangi bahunya. Aku merasakan sekali bahu Des yang terkejut dan menjadi kaku ketika aku menyentuhnya. Tapi aku senang, Des juga deg-degan!
Des menengok padaku dan melepas helmnya. Tanpa intermezzo lagi, Des mengulangi kalimatnya seperti yang di sekolah tadi, “Untuk ketiga kalinya. Jadi pacarku, ya, Er…”
Kalimat itu tetap terdengar luar biasa meski sudah tiga kali kudengar seharian ini, ditambah namaku diujungnya membuat deg-deganku jadi tak habis-habis. Aku menatap wajah Des yang meneduhkan itu. Seperti terhipnotis, aku yang penurut ini akhirnya menggangguk kepada Des.
Untungnya, meski lidahku kaku, aku masih bisa mengangguk. Kalau tidak, Des mungkin akan mengulang kalimat luar biasa itu untuk keempat kalinya dan bisa-bisa bukan lidahku saja yang kaku tapi juga seluruh tubuhku. Untungnya, ya!
***
Thanks, Desember! Seorang siswa SMA yang menyita fokusku dan membuatku merasa bahwa kamu bukan sekedar Desember bagiku, tapi juga satu paket berisi 12 bulan yang semoga bisa selalu melengkapi tahun-tahunku. I heart you.
TAMAT.
Ditulis oleh Mahfira Intan di Tangerang, sejak 23 Desember 2017, jam 3 pagi dan selesai ditulis pada 10 Maret 2018, jam 9 malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar