11/07/2014

Gede Bukan Mimpiku


Oleh: Mahfira Intan


Aku bukan anak muda yang handal bermimpi, bahkan kerap membatasi karena aku menyadari begitu banyak hal yang tak kumiliki (baca: keberanian). Aku pernah takut, bukan takut ketinggian, takut kesendirian, atau takut kegelapan. Namun aku takut kegagalan. Manusiawi kedengarannya, namun berbahaya.

Di dalam hati, banyak yang ingin kucoba. Namun logikaku berhenti begitu saja saat bayang kegagalan memburu di setiap langkah. Aku ingin pergi ke manapun sendiri saja, tanpa merepotkan tukang antar jemput. Namun aku takut tak sampai tujuan. Aku ingin tahu seberapa indah jelajah malam di kota, namun aku takut tak bisa kembali ke rumah. Sederhana, tapi selalu ada saja.

Hingga malam itu, Kak Zihab (baca: kakak kelasku di sma) mengajakku pergi mendaki. Aku begitu bernafsu mengabaikan ajakannya, aku takut tak mampu sampai puncak. Kalaupun sampai, aku takut sulit untuk turun kembali. Terlalu banyak yang tak bisa kusanggupi.

Fahmi (baca: teman hidupku) yang juga bagian dari tim pendaki bersama Zihab membuat aku terdorong untuk ikut mendaki. Tapi tetap saja di benakku selalu katakan, “Untuk pergi sendiri ke kampus saja aku masih takut nyasar, apalagi ke gunung”. Ah.

Sampai waktunya tiba (baca: 31 Mei 2014), aku tak memikirkan apa-apa lagi. Kali ini, bukan nekat namanya. Namun aku hanya berusaha menghilangkan kemauan dan ketakutanku, mengikuti rasa yang ada.

Mulai mendaki, aku tertawa, bicara, terus begitu sampai lelah. Berkali-kali berhenti dengan Kak Zihab dan Fahmi menemani. Lalu Fahmi memutuskan membawakan tas punggungku, melunturkan bebanku, namun menambah bebannya. Tapi memang tak bisa dipungkiri, aku butuh bantuan.

Semakin di atas, tadinya kupikir, dingin udara ini akan membawaku pada alergi hidung yang menjadi sahabatku sejak duduk di bangku smp, sehingga aku harus tak boleh lupa menggunakan masker penutup hidung dan mulutku. Namun semuanya terbalik, aku merasa nyaman. Nyaman sekali meski masker tetap terpasang di mulut dan hidungku. Alergiku tak kambuh sesaat pun.

Melanjutkan perjalanan, kaki yang kupikir akan teramat sakit ternyata hanya pegal sedikit. Tinggal nafas saja yang tersengal mengingat lajur yang terus menanjak.

Lalu ada Tanjakan Setan, aku si penakut ini harus mampu mendakinya. Dengan santai, bahkan tanpa penuh rasa percaya diri, aku mencengkram batu-batu yang tersusun tak teratur di tanjakan ini. Pelan, kaki dan tanganku merangkak ke atas. Sampai. Lega, namun tetap biasa saja. Entahlah.

Singkatnya, aku bersama tim (baca: Kak Zihab, Fahmi, Wafi, Bang Ali, Alya, Bang Ari, Bang Juhal, Zidny, Bang Filza) sampai di Puncak Gede. Aku lega, bersyukur tanpa kata. Tak peduli ke mana perginya ketakutan yang selalu menyelimuti. Thanks Team, U did nice.

Puas bercumbu dengan Puncak Gede, kami harus turun ke bawah. Ketakutan akan kesulitan dan kegagalan itu muncul lagi, aku tak membenci ketakutan itu, aku bahkan bersahabat dengannya. Sungguh. Tak pernah kulawan, kadang kuikuti, kadang kudiamkan.

Dan kali ini, ketakutan itu kuabaikan. Karena pikirku, siapa yang akan meladeni mahasiswi semester II yang penakut ini. Tak ada.

Sebelum turun, ada padang savanna yang teramat indah untuk sekedar dilewati saja, Surya Kencana. Hijau, berlatar belakang gunung yang bertumpuk menjulang. Ciptaan Tuhan yang sempurnanya tak terelakkan. Edelweiss belum mekar, namun cantiknya benar abadi menghias pemandangan.

Setelahnya, kami turun melewati jalur Gunung Putri, aku bertukar sepatu dengan Bang Ari. Tak kusangka sepatunya akan begitu licin di lajur ini, aku beberapa kali hampir terpeleset, dan sekali benar-benar terjatuh. Memalukan teramat sangat.

Namun tak ada alasan untuk berhenti atau anggota tim yang lain akan meninggalkan semakin jauh. Aku berjalan bersama Fahmi, dan kami sesama pemula yang baru pertama kali ‘mampir’ ke sini, ditambah keadaan yang sepi tanpa pendaki lain. Andai tertinggal terlalu jauh, mungkin kami akan memutuskan untuk menjadi tarzan saja, tinggal di hutan bersama binatang-binatang liar. Ah imajinasi.

Kami disuguhkan sawah-sawah yang tertata rapi, sungai yang airnya bergemuruh tenang. Sejuk sekali. Dan satu lagi, warung kecil yang di sana kami (baca: tinggalah aku, Fahmi, Kak Zihab. Yang lainnya sudah berada di depan) ‘mencicipi’ gorengan tanpa henti, serta mengisi kembali persediaan air minum yang hampir bisa terhitung sisa tetesannya.

Dan akhirnya, pos terakhir. Sampai!!! (baca: 01 Juni 2014). Aku rasanya ingin bersorak girang, menyanyikan lagu Dora-We Did It. Tapi sepertinya akan nampak norak dan tak cantik. Jadi aku berusaha tetap anggun, meskipun wajahku sudah kumal dan lelah.

Kamarku, Rumah.
Aku perhatikan satu persatu momen yang terabadikan lewat kamera dslr-ku. Manis. Pengalaman yang tak tergantikan, bisa saja sekali seumur hidup. Karena meski menyenangkan, aku tak berniat untuk ketagihan. Apalagi saat masuk kuliah, aku harus berjalan keong menaiki tangga menuju kelas. Kakiku sakit bukan main.

Aku merenung, memikirkan. Gede bukan mimpiku, namun Tuhan mengizinkan aku berhasil sampai ke puncaknya. Apalagi hal-hal yang aku impikan dan aku upayakan, Tuhan Maha Pemurah pasti mengabulkan dengan yang sesuai.

Mari mulai bermimpi besar, berusaha, dan berdo’a. Tuhan yang meminta kita berdo’a, memohon kepada-Nya. Maka Dia pula yang akan bertanggung jawab untuk mengabulkannya. Janji Tuhan tak ada ingkarnya.


 
Biar Edelweis yang menjadi saksi abadi persaudaraan baru ini. Terima Kasih
(Surya Kencana, 01 Juni 2014)

Ditulis di
Tangerang, 07 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar