Oleh:
Mahfira Intan
Aku bukan anak muda
yang handal bermimpi, bahkan kerap membatasi karena aku menyadari begitu banyak
hal yang tak kumiliki (baca: keberanian). Aku pernah takut, bukan takut
ketinggian, takut kesendirian, atau takut kegelapan. Namun aku takut kegagalan.
Manusiawi kedengarannya, namun berbahaya.
Di dalam hati, banyak
yang ingin kucoba. Namun logikaku berhenti begitu saja saat bayang kegagalan
memburu di setiap langkah. Aku ingin pergi ke manapun sendiri saja, tanpa merepotkan
tukang antar jemput. Namun aku takut tak sampai tujuan. Aku ingin tahu seberapa
indah jelajah malam di kota, namun aku takut tak bisa kembali ke rumah.
Sederhana, tapi selalu ada saja.
Hingga malam itu, Kak Zihab
(baca: kakak kelasku di sma) mengajakku pergi mendaki. Aku begitu bernafsu
mengabaikan ajakannya, aku takut tak mampu sampai puncak. Kalaupun sampai, aku
takut sulit untuk turun kembali. Terlalu banyak yang tak bisa kusanggupi.
Fahmi (baca: teman
hidupku) yang juga bagian dari tim pendaki bersama Zihab membuat aku terdorong
untuk ikut mendaki. Tapi tetap saja di benakku selalu katakan, “Untuk pergi
sendiri ke kampus saja aku masih takut nyasar, apalagi ke gunung”. Ah.
Sampai waktunya tiba
(baca: 31 Mei 2014), aku tak memikirkan apa-apa lagi. Kali ini, bukan nekat
namanya. Namun aku hanya berusaha menghilangkan kemauan dan ketakutanku,
mengikuti rasa yang ada.
Mulai mendaki, aku
tertawa, bicara, terus begitu sampai lelah. Berkali-kali berhenti dengan Kak Zihab
dan Fahmi menemani. Lalu Fahmi memutuskan membawakan tas punggungku,
melunturkan bebanku, namun menambah bebannya. Tapi memang tak bisa dipungkiri,
aku butuh bantuan.
Semakin di atas,
tadinya kupikir, dingin udara ini akan membawaku pada alergi hidung yang
menjadi sahabatku sejak duduk di bangku smp, sehingga aku harus tak boleh lupa
menggunakan masker penutup hidung dan mulutku. Namun semuanya terbalik, aku
merasa nyaman. Nyaman sekali meski masker tetap terpasang di mulut dan
hidungku. Alergiku tak kambuh sesaat pun.
Melanjutkan perjalanan,
kaki yang kupikir akan teramat sakit ternyata hanya pegal sedikit. Tinggal
nafas saja yang tersengal mengingat lajur yang terus menanjak.
Lalu ada Tanjakan
Setan, aku si penakut ini harus mampu mendakinya. Dengan santai, bahkan tanpa
penuh rasa percaya diri, aku mencengkram batu-batu yang tersusun tak teratur di
tanjakan ini. Pelan, kaki dan tanganku merangkak ke atas. Sampai. Lega, namun
tetap biasa saja. Entahlah.
Singkatnya, aku bersama
tim (baca: Kak Zihab, Fahmi, Wafi, Bang Ali, Alya, Bang Ari, Bang Juhal, Zidny,
Bang Filza) sampai di Puncak Gede. Aku lega, bersyukur tanpa kata. Tak peduli
ke mana perginya ketakutan yang selalu menyelimuti. Thanks Team, U did nice.
Puas bercumbu dengan
Puncak Gede, kami harus turun ke bawah. Ketakutan akan kesulitan dan kegagalan itu muncul lagi, aku tak membenci ketakutan itu, aku bahkan bersahabat
dengannya. Sungguh. Tak pernah kulawan, kadang kuikuti, kadang kudiamkan.
Dan kali ini, ketakutan
itu kuabaikan. Karena pikirku, siapa yang akan meladeni mahasiswi semester II
yang penakut ini. Tak ada.
Sebelum turun, ada
padang savanna yang teramat indah untuk sekedar dilewati saja, Surya Kencana.
Hijau, berlatar belakang gunung yang bertumpuk menjulang. Ciptaan Tuhan yang
sempurnanya tak terelakkan. Edelweiss belum mekar, namun cantiknya benar abadi
menghias pemandangan.
Setelahnya, kami turun
melewati jalur Gunung Putri, aku bertukar sepatu dengan Bang Ari. Tak kusangka
sepatunya akan begitu licin di lajur ini, aku beberapa kali hampir terpeleset,
dan sekali benar-benar terjatuh. Memalukan teramat sangat.
Namun tak ada alasan
untuk berhenti atau anggota tim yang lain akan meninggalkan semakin jauh. Aku
berjalan bersama Fahmi, dan kami sesama pemula yang baru pertama kali ‘mampir’
ke sini, ditambah keadaan yang sepi tanpa pendaki lain. Andai tertinggal
terlalu jauh, mungkin kami akan memutuskan untuk menjadi tarzan saja, tinggal
di hutan bersama binatang-binatang liar. Ah imajinasi.
Kami disuguhkan
sawah-sawah yang tertata rapi, sungai yang airnya bergemuruh tenang. Sejuk
sekali. Dan satu lagi, warung kecil yang di sana kami (baca: tinggalah aku,
Fahmi, Kak Zihab. Yang lainnya sudah berada di depan) ‘mencicipi’ gorengan
tanpa henti, serta mengisi kembali persediaan air minum yang hampir bisa
terhitung sisa tetesannya.
Dan akhirnya, pos
terakhir. Sampai!!! (baca: 01 Juni 2014). Aku rasanya ingin bersorak girang,
menyanyikan lagu Dora-We Did It. Tapi sepertinya akan nampak norak dan tak
cantik. Jadi aku berusaha tetap anggun, meskipun wajahku sudah kumal dan lelah.
Kamarku, Rumah.
Aku perhatikan satu
persatu momen yang terabadikan lewat kamera dslr-ku. Manis. Pengalaman yang tak
tergantikan, bisa saja sekali seumur hidup. Karena meski menyenangkan, aku tak
berniat untuk ketagihan. Apalagi saat masuk kuliah, aku harus berjalan keong
menaiki tangga menuju kelas. Kakiku sakit bukan main.
Aku merenung,
memikirkan. Gede bukan mimpiku, namun Tuhan mengizinkan aku berhasil sampai ke
puncaknya. Apalagi hal-hal yang aku impikan dan aku upayakan, Tuhan Maha
Pemurah pasti mengabulkan dengan yang sesuai.
Mari mulai bermimpi
besar, berusaha, dan berdo’a. Tuhan yang meminta kita berdo’a, memohon
kepada-Nya. Maka Dia pula yang akan bertanggung jawab untuk mengabulkannya.
Janji Tuhan tak ada ingkarnya.
Biar Edelweis yang menjadi saksi abadi persaudaraan baru ini. Terima Kasih
(Surya Kencana, 01 Juni 2014)
Ditulis di
Tangerang, 07 November 2014
Tangerang, 07 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar