Siang itu, angin bertiup kencang. Amina keluar dari pintu kostan dgn jaket yang ia tarik rapat-rapat melingkarkan tubuhnya. Ia berjalan cepat ke pinggir jalan besar untuk menunggu angkutan umum menuju ke suatu tempat. Ia berdiri menunggu dengan sabar, terkadang ia menunduk menahan senyum dalam diam. Ia bahagia sekali siang ini.
15 menit kemudian, angkutan yang ditunggu Amina datang. Ia naik dan duduk di kursi bagian pojok belakang. Amina melonggarkan jaketnya, ia membuka ponselnya. Dilihatnya foto seorang pria berkulit putih, tidak terlalu tinggi, tersenyum sangat manis. Pria itu menggunakan stelan koko dan celana panjang, serta kopiah hitam di kepalanya. Foto tersebut berlatar belakang sebuah masjid yang sangat indah, Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir. Amina menatapnya lekat-lekat, ada rindu yang terbaca jelas dari matanya.
Lalu Amina tersadar bahwa ia hampir saja sampai. Disiapkannya uang untuk membayar angkutan umum, lalu meminta supir angkutan tersebut untuk berhenti.
***
Amina turun di sebuah pasar yang kumuh dan becek. Angin masih bertiup kencang. Namun Amina masih menjaga senyum sumringahnya, ia kembali merapatkan jaketnya dan mulai berjalan kaki memasuki pasar itu. Pasar tersebut terdiri dari kios-kios yang berdiri di sebuah tanah lapang yang luas, bukan pasar yg memiliki bangunan tersendiri.
Amina berjalan tak berhenti sampai di ujung pasar. Ia hanya harus melewati pasar itu untuk sampai ke tempat yang ia tuju. Setelah keluar dari pasar, ia masih melanjutkan perjalanannya.
Kurang lebih 20 menit berjalan kaki, Amina sampai di sebuah gang sempit. Dari depan gang, nampak beberapa rumah kontrakan yang semua pintunya tertutup. Hanya satu pintu yang terbuka serta dipenuhi sandal dan sepatu di depannya. Amina menarik nafas panjang, lalu berjalan ke rumah kontrakan dengan pintu yang terbuka itu.
"Assalaamu'alaikum", Amina memberi salam di depan pintu itu.
"Wa'alaikumussalam", riuh suara menjawab salam Amina.
Semua orang di dalamnya menoleh kepada Amina, namun seperti sudah akrab, mereka serentak membalas senyum yang Amina lontarkan. Seorang laki-laki yang persis seperti di dalam foto yang Amina lihat di angkutan umum tadi berdiri dan menghampirinya. Amina tersenyum amat sumringah, ia benar-benar tak bisa menahan rasa bahagianya. Laki-laki itu mengajak Amina masuk dan duduk bersama mereka. Amina menyalami satu persatu tamu yang berada di sana, tak terkecuali Ibu dan Bapak dari laki-laki itu. Namun ada satu perempuan yang ia rasa janggal berada di situ, ia tak mengenal perempuan itu sama sekali, pikir Amina mungkin itu penghuni baru kontrakan sebelah.
***
Laki-laki itu adalah Fatih. Laki-laki yang menyita perasaan Amina selama kurang lebih 9 tahun ini. 3 tahun mereka berpacaran di SMA, lalu Fatih melanjutkan S1 dan S2 di Al-Azhar, Kairo, Mesir selama 6 tahun. Sedang Amina melanjutkan kuliah di salah satu Universitas swasta di Jakarta. Yang berarti mereka menjalani hubungan jarak jauh.
Amina dan Fatih penuh usaha keras untuk tetap bertahan dengan hubungan jarak jauh mereka. Meskipun beberapa kali mereka pernah menyukai orang lain, namun mereka tetap kembali pada hubungan yang sudah payah mereka bangun bersama-sama.
Dan hari ini, Fatih kembali ke Indonesia. Ia berhasil menyelesaikan S1&S2 nya dengan baik di sana.
***
Hampir ashar, semua tamu akhirnya pulang. Termasuk beberapa teman SMA Fatih yang juga kenal dengan Amina. Namun Amina dan perempuan asing itu masih tinggal. Amina bertanya-tanya siapa perempuan asing itu, parasnya cantik sekali, kulitnya putih mulus, jilbabnya lebar sampai menutupi sebagian kakinya. Bukan seperti Amina yang gemuk, wajah Amina biasa-biasa saja, kulitnya coklat, jilbabnya pun hanya sebatas menutupi dada sampai siku. Amina minder melihat perempuan asing itu.
Fatih dan Ayahnya pergi ke Masjid untuk sholat Ashar, Ibunya sedang di kamar mandi untuk bersiap-siap sholat Ashar di rumah. Amina dan perempuan itu duduk berdua di ruang tamu. Karena penasaran, Amina memulai percakapan.
"Aku Amina, nama kamu siapa?," Amina mengulurkan tangannya.
"Aku Khadijah," jawab perempuan asing itu menjabat tangan Amina.
"Temen Mas Fatih ya? SD atau SMP?," tanya Amina lagi, masih semangat.
"Aku temen Mas Fatih di Mesir," jawab Khadijah tersenyum.
Dalam hati, Amina kaget. Pertama, Khadijah memanggil Fatih dengan sebutan "Mas", sama seperti panggilannya pada Fatih. Kedua, Khadijah adalah teman Fatih dari Mesir, lalu untuk apa dia berada di sini.
Amina hampir membuka mulutnya untuk lanjut bertanya, namun Ibu Fatih tiba-tiba ke ruang tamu dan memanggil mereka untuk saling bergantian melaksanakan sholat ashar. Amina pergi lebih dulu. Ibu Fatih menemani Khadijah mengobrol di ruang tamu.
Tak lama, Fatih dan Ayahnya kembali dari masjid. Fatih mengambil tempat duduk di samping Khadijah, Ayahnya duduk di samping Ibunya. Mereka bercengkrama selagi Amina sholat. Khadijah begitu pemalu, ia terus menundukkan pandangannya, Fatih yang berada di sampingnya melihat Khadijah dengan tatapan yang begitu dalam dan bermakna.
***
Amina menyelesaikan sholatnya, lalu kembali ke ruang tamu. Giliran Khadijah yang pergi sholat, diantar oleh Ibu Fatih karena ini pertama kali Khadijah berkunjung ke sana. Berbeda dengan Amina yang sejak berpacaran dengan Fatih di SMA dulu sudah sering berkunjung ke sana, jadi tanpa ditemani pun Amina sudah tahu di mana ia harus sholat.
Amina menggantikan tempat duduk Khadijah. Ayah Fatih mempersilahkan Amina untuk menikmati makanan yang disediakan di meja, Amina tersenyum, sumringah seperti di awal. Fatih menyalakan televisi, lalu asik menonton tanpa sedikitpun mengajak Amina bicara. Ayah Fatih mohon diri untuk beristirahat di dalam. Amina melihat Fatih dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. Ada yang meletup-letup di dadanya. Ia bahagiaaa sekali.
"Mas," panggil Amina pada Fatih.
"Iya," Fatih menjawab tanpa menoleh kepada Amina.
Amina tau, Fatih sedang serius menyaksikan program berita di televisi itu.
"Kamu gemukan deh, Mas. Hehe," Amina mencoba mengakrabkan suasana.
"Iya nih," Fatih hanya menjawab singkat. Ia mungkin terlalu serius, pikir Amina.
Amina merasa tak ingin mengganggu, maka ia hanya menjawab Fatih dengan bergumam dan tersenyum.
***
Khadijah kembali ke ruang tamu, Fatih menoleh dengan cepat.
"Udah selesai, Dek?," tanya Fatih ramah.
"Udah, Mas," Khadijah menjawab dengan tetap menundukkan pandangannya.
"Kalian akrab ya... hehe", Amina mencoba menyimpan rasa cemburunya mendengar Fatih memanggil Khadijah dengan sebutan "Dek".
Namun tak satu pun menjawab Amina.
"Kamu mau pulang jam berapa, Dek?," Fatih malah melanjutkan obrolannya dengan Khadijah.
"Sekarang aja ya, Mas," suara Khadijah terdengar begitu mengalun di telinga.
Amina menyimpan cemburu yang dahsyat dalam hatinya, ia tak tahu siapa perempuan asing itu, ia tak mengerti maksud panggilan "Dek" yang dilontarkan Fatih kepada perempuan asing itu, ia juga tak mengerti kenapa perempuan asing itu perlu berada di sini, perlu mendapatkan perhatian Fatih padahal ia sendiri tidak mendapatkannya sejak tadi ia datang.
"Mina bisa pulang sendiri kan? Aku mau anter Khadijah, rumahnya jauh, kasihan kalo naik angkutan umum," Fatih menyampaikan itu dengan gamblang kepada Amina.
Amina terperanjat, hatinya sakit. Ia bukan lagi cemburu, ia sudah mencapai rasa kesal.
Amina ingin memprotes, namun Ibu Fatih tiba-tiba muncul di ruang tamu membawa sebuah kantung plastik hitam berukuran sedang yg kemudian diberikan kepda Khadijah.
"Ini untuk Ummi-mu ya. Titip salam dari Ibu," ucap Ibu Fatih pada Khadijah.
"Ibu nggak usah repot-repot," pipi Khadijah bersemu merah menahan malu.
Sedangkan wajah Amina memerah karena marah.
"Udah gakpapa, Dek. Bawa aja," Fatih menambahkan.
"Terima kasih ya, Ibu," ucap Khadijah.
"Pulangnya hati-hati ya, Nak. Fatih bawa motornya pelan-pelan aja, jangan ngebut." pesan Ibu Fatih kepada Khadijah dan Fatih.
Mereka berdua serempak mengiyakan.
Ibu Fatih mengantar Fatih dan Khadijah sampai pintu, setelah mencium tangan, lalu mereka berlalu begitu saja. Amina? Ia duduk tercenung melihat adegan barusan, ia seperti tak dianggap ada.
"Amina mending nggak usah nunggu Fatih. Rumah Khadijah jauh, pasti dia pulangnya lama. Kamu pulang duluan aja ya, Nak." ucap Ibu Fatih pada Amina.
Amina kesal, ia merasa seperti diusir. Amina kemudian berdiri tegap, mencium tangan Ibu Fatih dan berjalan keluar dari rumah itu.
***
Amina harus berjalan 20 menit lagi, melewati pasar lagi, untuk sampai ke tempat ia harus naik angkutan umum. Namun kali ini, hati yang sakit itu, kesal yang bergemuruh, membuat langkah kakinya begitu berat. Pikirannya hanya kosong, ia kehilangan sesuatu yang ia harapkan dari Fatih. Hatinya terbanting keras dan hancur.
Lebih dari setengah jam, ia akhirnya sampai di tempat angkutan umum dan langsung menaikinya.
Amina terus melamun di dalam angkutan umum itu, tak ada yang ia pikirkan. Hanya hati yang hancur yang menjadikannya begitu kosong. Amina tak memperhatikan ke mana angkutan itu membawanya. Sampai si supir berhenti dan menegur Amina, "Mbak, ini udah pemberhentian terakhir."
Amina terkejut, ia melamun sampai lupa harus turun di mana. Akhirnya, ia pun turun di tempat itu dan pindah ke angkutan umum arah kembali, ia membuka matanya lebar-lebar dan berusaha keras tidak melamun. Ia menarik nafas panjang berkali-kali, mencoba membuat hati dan pikirannya kembali ke tempatnya.
***
Sampai di kamar kost, ia langsung duduk bersandar di kasur lantainya. Ia kembali melamun, ia tak bisa berpikir tentang apa-apa kecuali "Siapa Khadijah?". Karena jawaban dari "Siapa" akan memberikan kesimpulan dari semua pertanyaan tentang "Mengapa?".
Adzan maghrib membuyarkan lamunan Amina, ia segera bangkit untuk sholat. Sesudahnya, Amina berdo'a meminta ketenangan batin untuk segala kegalauan dan kekhawatiran yang ia rasakan saat ini. Ia meminta pada Allah agar memberinya jawaban atas semua yang ia bingungkan. Lalu, ia membaca selembar Al-Qur'an untuk mengusahakan ketenangan yang ia pinta dalam do'anya.
Setelah itu, hati Amina masih lengang, pikirannya mulai berputar-putar tentang Khadijah. Setitik air matanya menetes, hanya setitik. Ia mencoba mengangkat kepalanya dan menarik nafas panjang, tapi gagal. Air matanya menetes lagi, lagi, dan lagi.
***
Amina tengkurap di kasurnya, menutup mulutnya dengan bantal, ia tak mau tersedu. Ia tak mau menangisi sesuatu hanya karena ia bingung dan tak tahu apa-apa. Ia hanya perlu mencari tahu, bukan menangis begini. Tapi hatinya yang lengang mulai sesak, nafasnya yang panjang mulai tercekat. Amina tersedu.
Tiba-tiba ponselnya berdering, Amina kaget. Ia segera menyeka air matanya dan mengatur nafasnya beberapa saat. Ia melihat nama "Mas Fatih" muncul di layar ponselnya. Ada sedikit kelegaan yang mencuat dari dalam hatinya.
Amina menjawab telefon itu, "Iya, Mas,".
"Aku udah di jalan pulang dari rumah Khadijah, aku langsung ke kost-an kamu ya, setengah jam lagi sampe," Fatih hanya menyampaikan itu, lalu langsung menutup telefon.
Amina tersenyum, lalu segera membersihkan wajahnya. Ia tak mau Fatih tahu bahwa ia habis menangis. Ia tak ingin Fatih kecewa kalau tahu Amina mencemburui Khadijah. Mungkin saja Khadijah tak ada yang menjemput di bandara, makanya ikut ke rumah Fatih. Ya, opini tentang Khadijah berubah lagi di pikiran Amina. Dengan sangat cepat.
Setengah jam kemudian, pintu kost Amina diketuk. Ucapan salamnya begitu akrab di telinga Amina, dia lah Fatih. Amina membuka pintu, menyambut Fatih dengan sumringah.
"Langsung ke warung depan ya," ajak Fatih.
Amina mengunci pintu kamar kostnya lalu mengikuti Fatih di belakang. Fatih meninggalkan motornya di halaman parkir kost Amina. Warung depan gang kost Amina adalah tempat mereka biasa bertemu saat Fatih pulang setiap ramadhan.
***
Mereka mengambil tempat duduk satu-satunya yang masih kosong, dekat etalase warung tersebut. Pemilik warung menanyakan pesanan mereka dari balik etalase. Fatih dan Amina sama-sama memesan es jeruk dan roti panggang rasa coklat. Pemilik warung itu melihat bayangan wajah mereka dari balik etalase, ia terkejut saat melihat yang datang adalah Fatih dan Amina. Ia lalu menghampiri mereka.
"Mbak Amina, ini kan Mas Fatih ya?", tanya si pemilik warung yang biasa dipanggil Buk Joko.
Fatih tersenyum lalu mengulurkan tangan kepada Buk Joko.
"Apa kabar Mas Fatih? Udah balik toh ke sini?," Buk Joko menyambut tangan Fatih.
"Iya Buk, Alhamdulillah S2 nya udah selesai. Baru tadi siang sampe di sini," Fatih terus tersenyum.
"Oalah Alhamdulillah. Mbak Amina pasti seneng banget nih ya Mas Fatih nya udah pulang," kali ini Buk Joko menujukan pernyataannya kepada Amina.
Amina hanya tersenyum.
"Dia tiap hari ke sini, Mas. Ceritain Mas Fatih terus. Padahal udah pernah diceritain, tapi diceritain lagi. Dia kangen banget sama Mas Fatih hehe," Buk Joko setengah berbisik pada Fatih.
Amina yang seolah tertangkap basah, menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
"Yaudah kalian ngobrol-ngobrol nya lanjut lagi deh, saya mau bikinin pesenan kalian dulu nih," ucap Buk Joko sangat bersemangat, lalu kembali ke dapur.
***
"Kamu gemukan loh, Mas," Amina memperhatikan wajah pacarnya dalam-dalam.
"Iya, naik beberapa kilo. Aku seneng di sana berarti, hehe," jawab Fatih dengan nada bercanda.
"Di sini seneng nggak?," tanya Amina.
"Seneng dong. Kan aku pergi untuk pulang. Sekarang aku udah pulang, jadi udah pasti seneng," Fatih menjawab dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya.
"Aku juga seneng kamu pulang," ungkap Amina.
"Iya..." Fatih hanya membalas sekenanya.
Fatih berbeda dari terkahir mereka berkomunikasi saat ia masih di Mesir. Amina merasakan betul hal itu. Fatih tak pernah melihat wajahnya semenjak Amina datang ke rumahnya siang tadi, tapi pikir Amina mungkin Fatih hanya ingin menjaga pandangannya. Fatih selalu membalas kalimatnya dengan singkat, sekenanya saja, tapi pikir Amina mungkin Fatih hanya tidak ingin bicara berlebihan demi menjaga lisannya. Fatih bersikap sangat dingin dan kaku, tapi pikir Amina mungkin Fatih hanya berusaha menjaga sikapnya. Fatih tidak membuka obrolan lebih dulu, tapi pikir Amina mungkin Fatih tak ingin membicarakan hal yang sia-sia. Amina mencoba menghibur dirinya dengan pikiran-pikiran itu. Tapi gagal, nyatanya Amina sedih dengan perubahan itu. Sehari sebelum Fatih pulang, Amina masih merasakan hangat suara Fatih di telfon. Lalu kenapa pertemuan malah mendinginkan.
***
Pesanan mereka datang. Amina menyeruput es jeruknya cepat-cepat untuk mencairkan hawa panas di dadanya. Mereka sedikit demi sedikit mencemili roti panggang rasa coklat yang mereka pesan.
"Aku mau ngomong panjang lebar, tapi jangan potong aku. Tetep makan roti panggang kamu, minum es jeruk kamu kayak biasa, sambil dengerin aku. Bisa?," baru memulai saja permintaan Fatih sudah panjang.
Amina pun hanya mengangguk.
Fatih menarik nafas panjang dan mencoba mengaturnya dengan baik, lalu mulai bicara perlahan, "Aku mau bilang terima kasih sama kamu untuk 3 tahun terbaik kita di SMA, terutama 6 tahun kemarin waktu kita harus pisah jauh. Kita sama-sama tau susahnya LDR. Kita sama-sama tau sakitnya waktu dari masing-masing kita pernah suka orang lain. Kita sama-sama tau perihnya nahan kangen karena cuma bisa ketemu setaun sekali pas lebaran. Kita sama-sama tau semuanya. Terima kasih banyak kamu udah bertahan sampe di sini, udah kuat buat aku, udah hebat banget dampingin susah sedihnya aku, udah luar biasa sabar ngadepin tempramennya aku. Kita sama-sama tau, buat sampe di sini itu kita banyak jatoh bangunnya, apalagi kamu, banyak nangisnya karena aku. Aku minta maaf," Fatih berhenti, ia menyeruput es jeruknya pelan.
Amina terus menunduk, Fatih tahu Amina sedang menahan air matanya.
Fatih mengambil nafas panjang dan melanjutkan, "Kita nggak perlu ngomongin tentang seberapa banyak perasaan sayang kita, karena kita udah sama-sama tau. Itu suatu hal yang nggak perlu ditanya dan dipermasalahin lagi. Kamu nggak pernah berubah, Mina. Kamu selalu riang, selalu seneng ngehibur orang, selalu jadi pundak terbaik buat mereka yang lagi terpuruk, selalu jadi tempat pulang ternyaman untuk aku, selalu bersedia nunggu untuk siapapun yang janji bakal dateng, selalu maafin siapapun yang bikin salah dan nyakitin perasaan kamu, selalu jadi temen paling hangat untuk siapapun yang sendirian. Aku bangga jadi orang yang selalu kamu tunggu kepulangannya. Aku bangga sama kamu. Aku bangga jadi orang yang selalu kamu ceritain ke mereka yang kamu kenal, sekalipun aku jauh. Aku bahagia banget." Fatih berhenti lagi. Nafasnya mulai berat.
Air mata Amina sudah mulai menetes, Fatih tak pernah bicara seperti ini sejak 9 tahun lalu. Fatih tak pernah menyanjung dia sebegininya. Amina terharu amat sangat.
Fatih menunggu Amina selesai menangis, ketika dirasa Amina sudah lebih stabil, ia melanjutkan, "Tapi sekarang kamu pasti bingung tentang Khadijah, kan? Kamu pasti pengen tahu tentang dia. Jadi, aku akan jelasin. Tapi tolong jaga emosi kamu ya," mohon Fatih.
Lagi lagi, Amina hanya mengangguk.
"Aku ketemu Khadijah di Mesir, lebih tepatnya dipertemukan. Kamu inget kan, waktu Ibu sama Ayah jenguk aku ke sana? Ternyata mereka dateng sama sahabat mereka, Om Ali dan Tante Sarah. Aku juga kenal sama mereka, cukup deket. Mereka itu orang tuanya Khadijah, aku pernah sekali ketemu Khadijah, waktu itu masih SMP. Setelah itu nggak pernah ketemu lagi karena Khadijah langsung lanjutin SMA di Mesir sana. Aku nggak tau kalo ternyata Khadijah kuliah di Al-Azhar juga, aku nggak pernah liat dia.
Waktu Ibu, Ayah, Om Ali, dan Tante Sarah dateng, aku baru ketemu Khadijah setelah 5 taun kuliah di kampus yang sama. Kita sama-sama pangling pas ketemu, dia bilang fisikku bener-bener beda, aku pun sama menilai dia begitu. Jadi kalo pun kita pernah papasan di kampus, kita gak saling ngenalin..."
"Point nya apa?," Amina terpaksa memotong karena ia merasa Fatih mulai mengulur pembicaraannya.
"Ok. Maaf aku terlalu bertele-tele," ternyata Fatih menyadari itu.
"Untuk yang bakal aku ceritain ini, kamu janji untuk denger dan tetep kuat ya!," pinta Fatih.
Amina tahu ada hal tak enak yang harus ia dengar, namun ia mengangguk dan memberi ruang bagi Fatih untuk menyelesaikan pembicaraannya.
***
"Ibu, Ayah, Om Ali, dan Tante Sarah udah merencanakan untuk jodohin aku sama Khadijah," Fatih berhenti, kali ini ia memperhatikan wajah Amina yang tertunduk itu. Ia tahu Amina kaget, bahkan sangat kaget.
Amina memundurkan kursinya.
Fatih buru-buru menahannya, "Dengerin aku dulu, seengganya sampe semua jelas,".
Akhirnya, Amina tetap duduk diam.
"Aku pun nggak ngerti, kenapa Ibu bisa secepet itu menyetujui perjodohan. Padahal Ibu sayang banget sama kamu. Ibu belum kenal sama Khadijah, kalopun kenal ya pasti cuma dari cerita Om Ali dan Tante Sarah aja. Aku berusaha nolak perjodohan itu, aku pertahanin kita di depan Ibu sama Ayah. Tapi Ibu minta aku untuk coba kenal dulu sama Khadijah, seenggaknya setahun sebelum aku pulang waktu itu. Aku nggak bisa nolak lagi, karena Ibu udah mohon-mohon sama aku. Khadijah sangat welcome sama perjodohan itu, ya mungkin karena dia emang nggak punya pacar. Tapi aku punya kamu, aku inget kamu. Setiap kali Ibu telfon aku, Ibu selalu cerita tentang Khadijah. Ceritanya sempurna banget, seolah Khadijah bener-bener berhati bersih kayak Cinderella. Jujur, salah aku karena penasaran. Aku mau kenal Khadijah, tadinya cuma mau buktiin cerita Ibu aja, tapi akhirnya aku tau apa yang bikin Ibu setuju dan aku......" Fatih berhenti lagi untuk yang ke sekian kali, ia takut untuk melanjutkan ceritanya.
Amina menimpali, "Kamu jatuh cinta sama Khadijah,".
Fatih terperanjat, yang dikatakan Amina adalah benar. Ia jatuh cinta pada Khadijah. Kisah Cinderella yang diceritakan oleh Ibunya tentang Khadijah adalah benar.
Wajah Fatih memelas kali ini, ia melanjutkan dengan sangat lembut, "Mina, aku nggak mau nyakitin kamu. Dan aku berusaha keras untuk gak ngelakuin itu. Untuk nggak ngancurin apa yang kita bangun 9 tahun ini. Sampe malem ini, kamu masih pacar aku, Mina. Tapi Khadijah, dia calon istri aku..."
Amina bangun dari kursinya lalu berlari cepat kembali ke kostan. Jawaban tentang "Siapa Khadijah" berhasil didapatkannya. Air matanya berurai deras.
Fatih mengambil uang 50ribuan lalu meletakannya di atas etalase warung, ia mengucapkan terima kasih pada Buk Joko lalu berlari mengejar Amina.
***
Sampai di depan kost Amina, Amina sudah selesai mengunci pintu kamar kostnya. Fatih mengetuk-ngetuk pintunya sambil meminta maaf. Namun Amina yang terluka itu tak menjawab.
Amina duduk menangis di balik pintu yang diketuk itu, tangisnya pecah tak tertahan. 9 tahun yang ia perjuangkan sia-sia sudah. Hatinya hancur berantakan, harapannya, mimpinya bersama Fatih hilang begitu saja. Amina rapuh kali ini, ia tak lagi bisa menghibur dirinya dengan pikiran positif yang biasa ia susun. Sedang Fatih ikut menangis di depan pintu itu, Fatih menyesal menyakiti Amina, jiwa tulus yang tak pernah menodai kesetiaannya sedikit pun. Tak pernah mengambil resiko untuk tahu tentang laki-laki lain kecuali dirinya. Tapi dari penyesalan itu, Fatih tak mampu berbohong bahwa perasaannya pada Amina memang sudah kosong.
***
Adzan isya berkumandang, Fatih bangkit, ia mengetuk pintu kamar kost Amina sekali lagi, tapi tak ada jawaban. Fatih bergegas menuju musholla yang tak jauh dari kost Amina. Sedang Amina di dalam kamar kostnya juga bergegas bangkit, lalu mendirikan sholat. Selepas itu, Amina benar-benar kalut dalam tangisnya. Ia tak tahu apa yang harus ia minta pada Allah untuk hubungannya dengan Fatih. Ia ingin meminta agar Allah mengembalikan Fatih padanya, namun Amina ragu apa pantas ia mendo'akan hal itu sedang ia tahu Fatih sudah menjadikan Khadijah calon istrinya. Amina ingin meminta kepada Allah pengganti yang lebih baik, tapi Amina merasa hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Fatih, ia tak ingin pengganti, ia tak ingin orang lain. Amina begitu bimbang, hatinya sakit, tapi rasa sayangnya pada Fatih belum hilang. Amina kecewa, tapi harapan tentang Fatih masih disimpannya di tempat paling dasar dalam hatinya. Amina terus merintih perih dalam do'anya. Amina tak tahu apa yang harus ia minta, selain kekuatan hati saat ini.
Dalam tangis Amina yang masih pecah, Fatih kembali mengetuk pintu kamar kost itu. Samar-samar, ia mendengar Amina menangis di dalam. Ia ingin menenangkan Amina, tapi ia tahu ia sudah tak bisa lagi. Ia tak mungkin mengatakan ia sayang pada Amina, karena itu bohong. Ia tak mungkin menggenggam tangan Amina, karena itu hanya akan meninggalkan bekas luka yang lebih dalam di hati Amina.
Ia putus asa, akhirnya ia mengatakan satu kalimat terakhir sebelum pergi, "Mina, jaga diri kamu baik-baik ya. Terima kasih sekali lagi. Maafin aku, aku nyesel nyakitin kamu. Aku pergi,".
Fatih pun berlalu dengan motornya.
Amina mendengar semuanya, kalimat terakhir Fatih hingga suara motor Fatih yang begitu dikenalnya, Amina mendengar semuanya yang kemudian membuat tangisnya semakin tak bisa ditahan lagi. Amina membanting tubuhnya ke kasur, menutup mulutnya dengan bantal, ia tak ingin tetangga kamarnya mendengar suara tangisnya.
Amina tak berhenti menangis dan menangis sampai akhirnya kelelahanlah yang menghentikan tangisnya dengan tidur seorang Amina yang terluka.
TAMAT.
Ditulis oleh Mahfira Intan di Tangerang, 18 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar